Sambil menahan gelak tawa, Elia Nurvista, kurator pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, membacakan sebuah pertanyaan yang muncul pada kolom chat siaran langsung Youtube, “Kapal selamnya lucu bingits, Kak. Bisa dinaikin, nggak?”
Pertanyaan dari Nova Basuki itu dilontarkan kepada Tohjaya Tono, seniman pameran utama yang menjadi pembicara pada program Gagasan Terbuka: Bincang Seniman #3, Kamis (28/10) siang. Hadir dalam layar setengah jam lebih awal, dua seniman lainnya bernama Vembri Waluyas dan Riar Rizaldi, juga ikut tertawa.
Pertanyaan dengan kesan bercanda itu lantas ditanggapi oleh Tono. Seniman asal Bangkalan ini memberikan penjelasan tentang pemilihan kapal selam pada instalasinya yang berjudul “Tamulahan”.
“Ada yang bertanya-tanya, mungkin. Kenapa, sih (memilih) kapal selam? Buat saya, ketika berproses kala itu, ada banyak pilihan perangkat yang mewakili kekuasaan. Menurut saya, kapal selam itu mewakili alat kekuasaan wilayah,” terang Tono. Mengenakan kaos abu-abu gelap, dengan lilitan slayer hitam di leher, dan topi warna hitam, ia duduk macam sedang nongkrong bersama teman-temannya.
Lebih lanjut, Tono memberikan contoh: New Zealand dan Australia yang membangun kekuatan-kekuatan dengan senjata militer. Pandangannya, penggunaan senjata militer—termasuk kapal selam—untuk membangun kekuasaan, menjadi perihal yang menarik.
“Kapal selam itu memiliki semacam pengamatan. Metafora-metafora dapat terbangun ketika kita melakukan perjalanan dengan kapal, apalagi kapal selam, yang mengarungi kedalaman lautan dan menjelajahi kekayaan-kekayaan di dalamnya,” tambahnya.
Ia juga bercerita, ketika berusaha mencari tahu tentang Perang Dunia II, kapal selam digunakan untuk menjelajahi lautan sekaligus melihat potensi alamnya.
Melalui penjelasan ini, Tono berusaha menggali objek yang mewakili kekuasaan negara, yaitu kapal selam, yang disandingkan dengan objek-objek lanskap lainnya tentang eksplorasi dan eksploitasi alam melalui karya instalasinya.
Eksplorasi dan eksploitasi itu, menurut Tono, berdampak pada kehidupannya. Pada awal perbincangan, ia sempat bercerita tentang masa kecilnya. Sewaktu Tono kecil, alam di Madura begitu ramah. Ketika bermain ke daerah pesisir, ia kerap melihat ikan melompat dari permukaan air. Namun, sekitar sepuluh tahun setelahnya, keindahan itu seakan sirna.
“Tamulahan” dipaparkan di layar sembari ia bercerita. Sebuah kapal selam menggantung di langit-langit berhias lampu berwarna merah. Ruangan remang, dipenuhi warna ungu dengan mural pegunungan dan pohon di sebelahnya.
“Itulah, kemudian, alasan saya memilih kapal selam. Sebagai metafor kekuasaan,” pungkas Tono.