Rokok di mulutnya ia jepit, ditariknya dari mulut, lantas diembuskannya asap ke depan. “Indonesia timur,” jawab Aryo Bimo, jurnalis Jogja Info yang saya cegat di pintu belakang Jogja National Museum (JNM), dengan sisa-sisa asapnya.
Jawaban menjadi hal paling mengesankan bagi Bimo itu setelah menyaksikan ruang pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 melalui kegiatan Media Preview pada Kamis (7/10) sore.
Baginya, sudah terlalu lama kesenian didominasi oleh unsur Jawa. Jawa sentris, demikian dia mengistilahkannya. Maka dari itu, kesempatan menghadiri Media Preview Biennale XVI di JNM memberi banyak pelajaran kepadanya.
Sebelumnya, Bimo tidak begitu mengetahui tetek-bengek kesenian Indonesia timur. Pikiran itu berubah, katanya, saat mengetahui sosok Arnold Ap pada deskripsi awal pameran dan instalasi Udeido Collective. “Perannya sentral, akses terhadapnya minim. Kalau bukan karena Biennale Jogja XVI, Arnold Ap akan tetap asing di benak saya,” ungkapnya.
Bila Bimo menekankan pada kekagumannya atas pengetahuan baru soal seni dan sejarah Indonesia timur, lain halnya dengan dua awak media yang saya temui di lantai tiga. Mira Asriningtyas dan Dito Yuwono, namanya. “Saya dari Ocula, majalah online seni kontemporer,” kenal Mira.
Meski Dito mengaku bahwa dia hanya numpang Mira sebagai utusan Ocula, saya tahu bahwa keduanya adalah inisiator LIR Space, kolektif seni yang memprakarsai pameran “900mdpl” di Kaliurang, Yogyakarta.
“Oseania,” jawab Dito lugas saat ditanya soal hal paling impresif dari Biennale Jogja XVI. Senada dengan Bimo, Dito turut mengapresiasi langkah panitia untuk mengangkat tema Oseania dan Indonesia timur.
Setelah berkeliling di Pameran Utama Biennale Jogja XVI, Dito merasa ada perubahan pandangan dirinya atas Oseania. “Bahaya kalau sampai tidak ada perubahan,” kelakarnya.
Dia merasa lebih dekat dengan Oseania sebagai identitas. Sebab, lanjutnya, keindonesiaan dirinya juga berbagi dengan konteks budaya Oseania dan Indonesia timur.
Bila Dito enteng saja menjawab karya favoritnya dengan instalasi “Boko Nukila vs Kolonial” milik Broken Pitch X Juanga Culture, tidak dengan Mira dan Dito. Keduanya merasa tidak bisa menghakimi secara cepat soal yang paling impresif. “Semuanya adalah pusat dalam membaca budaya Oseania,” tukas Mira sekaligus mengakhiri perjumpaan kami sore itu.