Penonton memenuhi Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum, Minggu (10/10). Siang itu, digelar forum diskusi bertajuk “Counter-Internationalism and Beyond Local” sebagai bagian dari Biennale Forum #3 Indonesia with Oceania—Sharing Currents and Mutual Responsibilities.
“Saya Presiden Tidore”, ujar Bams Conoras dari Juanga Culture ketika memperkenalkan diri sebagai salah satu pembicara. Tiga pembicara lain duduk di sebelahnya. Mereka adalah: Costantinus Raharusun dari Udeido Collective, Marthen Reasoa dari Paparisa Ambon Bergerak, dan Mama Fun dari Lakoat.Kujawas.
Dipandu Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista, co-curators pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, Presiden Tidore menanggapi pertanyaan soal pemaknaan lokalitas. “Lokalitas adalah perlawanan. Jangan sampai jati diri diambil,” ujarnya disambut meriah oleh penonton.
Masih berbicara lokalitas dan jati diri, ada setidaknya dua hal yang disinggung: perayaan Hari Kartini dan Hari Batik.
“Mengenai Hari Kartini. 34 provinsi di Indonesia punya pahlawan perempuan, tapi hanya (perempuan) Jawa yang diangkat,” ujar laki-laki dengan dua kepangan rambut panjang itu, lagi-lagi diikuti sorakan pemirsa.
Ia juga mempertanyakan perihal Hari Batik Nasional yang dirayakan tiap 2 Oktober. “34 provinsi punya kain khas, tapi mengapa hanya batik yang dirayakan?” tanyanya.
Menurut hematnya, jika lokalitas tidak melawan, negara akan merebutnya. Diskusi masih berlanjut dengan pertanyaan Ayos mengenai pandangan terhadap modernitas dari praktik lokalitas.
Presiden Tidore menimpali. Ia berujar, modernitas itu penting dan perlu untuk menopang kebudayaan lokal. Keduanya dapat saja berjalan beriringan. “Modernitas, jangan lupa identitas,” katanya.
Membahas perkawinan antara modernitas dengan tradisi, Presiden Tidore memberikan contoh musik hip-hop yang menyasar anak-anak muda.
“Dalam konsep saya, anak muda adalah tentang perlawanan. Liriknya tradisi, beat-nya hip-hop. Ambil unsur lokal, bungkus dengan modern,” jelasnya.
Baginya, modernitas itu persoalan waktu. Seperti halnya sepeda motor yang sekarang dianggap keren, bisa saja 500 tahun ke depan sudah ketinggalan zaman.
Presiden Tidore menekankan pada identitas dan jati diri ketika membahas lokalitas, juga modernitas. Gagasan yang ia sampaikan, tentu disambut tepuk tangan meriah. “Ingat agama, ingat diri. Ingat budaya, ingat jati diri,” begitu katanya.