Karya seni dalam bingkai komunikasi
Setelah berusaha meresapi kedua karya itu, pertanyaan saya tentang menyeberangi jurang, saya tarik ke belakang: bagaimana melihat fenomena ini—mengamati karya seni kemudian menetaskan komentar, pendapat, pikiran, dan/atau pertanyaan—dalam bingkai komunikasi?
Jika dapat disebut fenomena, saya meminjam buah pikiran David Berlo untuk menjelaskannya.
Menurutnya, komunikasi—dalam ragam paling sederhana—terdiri dari setidaknya empat elemen: pengirim, pesan, media, dan penerima.
Demi memadatkan penjelasan, selanjutnya saya akan menganggap karya seni sebagai produk komunikasi. Sama seperti ketika saya menyandingkan karya “Nyawiji Ibu Bumi” oleh Fitri DK dengan berita “Selamat Jalan Yu Patmi” yang ditulis Mawa Kresna yang keduanya dapat menyentuh saya dengan cara yang hampir sama.
Jika dilirik secara spontan, karya seni jelas mengkomunikasikan sesuatu.
Pertama, boleh dikatakan di sini, seniman adalah pengirim pesan. Singkatnya, gagasan dan ide yang dimiliki seniman, dari manapun itu berangkat dan berpijak, disusun menjadi sebuah pesan. Paling tidak, ada tiga hal yang mempengaruhi proses ini: nilai-nilai, pengetahuan, dan latar kebudayaan pengirim pesan.
Selanjutnya, susunan gagasan dan ide itu dituangkan ke dalam karya seni. Simbol dan lambang menjadi huruf yang dirangkai ke dalam media—sebut saja, media kain pada karya Fitri DK dan media video pada karya Chang Jia.
Media yang sudah dipenuhi simbol dan lambang ini, menjadi corong komunikasi pesan ke penerima melalui pancaindera: penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa.
Pentingnya penggunaan media dalam karya seni ini kemudian menggandeng pikiran saya pada ungkapan pakar ilmu komunikasi Marshall McLuhan, “the medium is the message,” yang berarti media adalah pesan.
Terdapat dua pengertian ungkapan ini: (1) media komunikasi yang menentukan isi pesan dan (2) media komunikasi yang berperan dalam manipulasi imaji kita mengenai diri, orang lain, masyarakat, bahkan dunia dengan menunggangi kesadaran dan mengusik persepsi kita.
Ungkapan ini, menurut saya, penting meskipun sedikit memuai dari elemen komunikasi sederhana David Berlo. Secara, penggunaan media kain dan video dalam kedua karya, sama pentingnya dengan pesan yang hendak disampaikan seniman kepada pemirsa.
Misalnya, melihat kembali karya Chang Jia yang mengantongi ribuan simbol dan lambang dalam satu karya dengan media video. Terutama, siksaan dan senyuman di dalamnya. Kedua hal kontradiktif yang biasanya tidak memiliki hubungan sebab akibat.
Saya yakin, jika pesan dari seni pertunjukan ini tidak dialihwahanakan menggunakan video, simbol dan lambang yang muncul, serta pemaknaannya mungkin tidak akan lebih kaya.
Pengalaman dan perjuangan
Sekarang, posisi saya sebagai penerima pesan. Saya berusaha memecahkan teka-teki yang muncul melalui simbol dan lambang dalam karya seni dengan kapasitas nilai, pengetahuan, dan latar kebudayaan yang telah lebih lama ada di dalam diri saya. Ketiga hal ini memungkinkan dua hal: membebaskan atau membelenggu pikiran saya.
Proses ini membuat saya, paling tidak, melontarkan pertanyaan kepada diri saya sendiri. Mengapa begini, mengapa begitu. Bagaimana ini, bagaimana itu.
Proses komunikasi ini tidak menghentikan saya untuk terus memberi makan rasa penasaran, sekaligus membangun dan menapaki jembatan di atas jurang pengalaman saya dengan dengan asam garam kehidupan perempuan dan keperempuanan yang mengilhami karya-karya seni ini.
Berteraskan proses komunikasi sederhana di atas, sekurang-kurangnya, dapat memulai estafet perjuangan perempuan di negeri ini.