Identitas budaya yang terbentuk dalam kehidupan suatu masyarakat akan mempengaruhi persepsi diri setiap anggota dalam masyarakat. Bagaimana mereka memandang diri sendiri, bagaimana mereka bersikap dan bertingkah laku, sangat dipengaruhi oleh identitas budaya yang melingkupi mereka.
Seniman selalu memiliki berbagai macam cara dalam penciptaan karya seni. Seringkali proses penciptaan kesenian erat kaitannya dengan identitas yang dibawa oleh seniman. Sama halnya dengan Udeido Collective, salah satu seniman yang berpartisipasi dalam perhelatan Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Terdiri dari seniman-seniman muda Papua yang mengeksplorasi berbagai fenomena sosial dan humaniora yang terjadi di Papua, dan mengemasnya dalam bentuk seni visual.
Karya Udeido pada Biennale Jogja XVI merespon Koreri. Dalam kepercayaan masyarakat Papua, Koreri merupakan sebuah ruang arwah sekaligus sebagai identitas budaya.
Dalam kepercayaan masyarakat setempat, ruang arwah merupakan sebuah tempat di mana orang Papua percaya bahwa setelah mati mereka akan pergi dan menetap di sana. Ruang arwah dapat berbentuk ruang imajiner yang berupa konseptual. Dan pada beberapa suku menjadi ruang yang faktual. Ruang arah ini pun dapat ditemukan di hutan, sebuah pulau, gunung-gunung besar, gua, dan lainnya.
Stuart Hall (1994) pernah mengatakan, identitas merupakan sesuatu yang bersifat imajiner atau diimajinasikan tentang keutuhan. Sebuah identitas muncul akibat perasaan bimbang yang kemudian diisi oleh kekuatan dari luar dari setiap individu. Identitas sendiri adalah sebuah perwujudan dari imajinasi yang dipandang oleh pihak-pihak tertentu yang saling terhubung di dalamnya.
“Koreri Projection”, sebuah tajuk utama yang dipilih Udeido Collective untuk karya mereka. Karya ini mencoba menghadirkan gambaran perjalanan entitas manusia-manusia Papua menuju Koreri. Lima seniman Udeido Collective, yaitu Betty Adii, Nelson Natkime, Costaninus Raharusun, Yanto Gombo, Dicky Takndare, dan Michael Yan Devis, mempresentasikan Koreri atau ruang arwah tersebut. Karya-karya mereka mencoba membangun sebuah proyeksi perjalanan fisik dan spiritual, dari puing-puing reruntuhan tanah Papua yang diobrak-abrik, hingga memasuki Koreri yang abadi.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa perempuan Papua menghadapi banyak tantangan dalam kehidupan. Kerap kali mereka menjadi korban pelanggaran HAM yang berlapis-lapis. Peristiwa ini terjadi dikarenakan sejarah politik Papua baik secara langsung karena korban militerisme atau karena aktivitas politik suami mereka.
Pada 2013 dan 2018, Asia Justice and Rights (AJAR) melakukan Penelitian Aksi Partisipatif (PAP) tentang situasi perempuan asli Papua. Mereka mengundang 249 Perempuan dari berbagai wilayah di Tanah Papua untuk berbagi kisah hidup dan berbicara tentang kekerasan yang dialami. Lewat identifikasi ini mereka menemukan pembuktian bahwa kekerasan rumah tangga dan berbagai kekerasan negara yang berkaitan dengan konflik politik Papua sebagai kekerasan yang paling umum terjadi terhadap perempuan asli Papua.
Betty Adii satu-satunya seniman wanita yang turut andil dalam “Koreri Projection”. Karya Betty cukup mencolok di antara karya seniman Udeido lainnya. Peluru-peluru yang menyerupai alat kelamin pria, yang menembus pakaian dalam wanita.
Karya Betty tersebut merepresentasikan kekerasan seksual yang dialami oleh perempuan Papua, yang mana dilakukan oleh para militer. Kejadian tersebut cukup traumatik bagi masyarakat Papua, khususnya perempuan. Banyak anak yang lahir dari kekerasan seksual tersebut yang akhirnya mempertanyakan identitas mereka.
Begitu banyak perempuan Papua yang mengalami berbagai bentuk pelanggaran dalam kehidupan mereka. Hal ini pun terjadi karena adanya budaya patriarki yang menjadikan perempuan akhirnya tidak memiliki hak, membuat perempuan mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Tetapi juga karena keberadaan kapitalisme yang terus-menerus mengeksploitasi, mendiskriminasi, dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual. Tak luput pula, semua didukung oleh kolonialisme sebagai penyebab kemiskinan yang membuat perempuan mengalami beban ganda hingga akhirnya termarginalisasi.