Di bilik gelap dengan cahaya temaram lentera, terpampang ranjang lawas berkelambu putih sebagai titik sentral. Di samping tilam itu, tikar pandan dan meja kecil disusun seperti ruang kerja sederhana, seakan-akan seseorang baru duduk di sana beberapa waktu lalu. Tampak dari kopi yang baru berkurang sedikit, kotak kinang terbuka memperlihatkan isinya yang masih utuh, alat lukis, dan gambar damar kurung yang belum rampung.
Karya instalasi itu merupakan bentuk representasi memori Sriwati Masmundari, seorang perempuan yang hingga akhir hayatnya tekun melukis damar kurung. Komposisi dari gambar-gambar Masmundari terlihat dekat dengan gaya wayang beber, hanya pola lukisnya yang menggunakan corak inosens atau naivisme. Tema yang dikerjakan juga tidak jauh dari kehidupan masyarakat di masanya, seperti menonton ketoprak dan berwisata.
Ketika memasuki ruang karya “Masmundari Memoria” dalam Pameran Roots <> Routes, Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, hal yang pertama kali terlintas dalam benak selain kesan masa lalu dan tradisional, adalah pikiran mengenai kuasa institusi seni “menciptakan” seniman.
Jika kita keluar dari ruang pamer dan melihat para pembuat gerabah, pembatik, dan pekerja seni lain yang lebih dekat pada bentuk tradisional. Pikiran kita akan menangkap mereka sebagai perajin atau tenaga kerja. Sama sekali tidak terjamah bayangan tentang konsep “seniman’’ dari kerja-kerja yang mereka hasilkan. Hal ini, disadari atau tidak, berkaitan dengan klasifikasi sosial yang terjadi di tengah masyarakat kita.
Ketika tinjauan sederhana ini mulai ditulis, saya teringat pembahasan “Dua Seni Rupa” oleh Sanento Yuliman. Dalam esai itu, Sanento membagi wajah seni rupa ke dalam dua golongan, yakni seni rupa atas dan seni rupa bawah. Seni rupa atas “… ialah seni rupa yang dalam kelahiran dan pertumbuhannya sangat besar peranan yang dimainkan oleh faktor informasi dan konsumsi.” Hal ini, menurutnya, berkaitan dengan pertumbuhan lapisan atas dan menengah masyarakat kita di kota-kota besar.
Sedang seni rupa bawah “… berhubungan dengan ekonomi lemah dan taraf hidup rendah, dipraktekkan oleh golongan kurang mampu dan kurang terpelajar (dalam arti pendidikan formal, modern).” Seni rupa ini berhubungan dengan tradisi yang produksi, distribusi, dan konsumsinya berlangsung di lapisan sosial bawah dan menengah (menengah-bawah) di kota besar, terutama di kota kecil dan desa, meskipun terdapat produk yang penyebarannya agak luas, bahkan mencapai lapisan menengah-atas di kota besar, hingga diekspor.
Sebelum masuk galeri dan ruang-ruang pameran yang representatif, perupa-perupa tradisional seperti halnya Masmundari, selalu berada dan bekerja di dasar masyarakat. Hidup dari menjual hasil kerjanya dengan ritme yang mekanis. Tradisi pekerjaan mereka mengalami penyesuaian dengan kemiskinan dan kaitan sosial-budaya yang terus menuntut kebaruan.
Proses itu mengalami titik balik ketika pada 1987, Masmundari berpameran di Bentara Budaya Jakarta. Seperti dalam arsip yang ditampilkan dalam ruang “Masmundari Memoria”, artikel “Menuju Pelataran Seni Rupa Indonesia’’ memuat perjalanan Masmundari mencapai puncak popularitas, hingga karya-karyanya menjadi buruan kolektor.
Dari situ jelaslah, institusi seni memegang peranan penting dalam menjangkau kelas sosial atas. Ia berperan mengangkat nilai dan eksklusivitas barang seni, sehingga benda itu menjadi lambang kekuatan dan punya nilai gengsi—sesuatu yang hanya diperlukan oleh kelas sosial dengan pertimbangan ekonomi bukan lagi berada di dalam perut.
Seperti dua sisi mata uang, setelah barang-barang tradisional itu mengakses wilayah atas yang dikuasai industri dan materialisasi. Sikap hidup masyarakat yang menghasilkan benda-benda itu pun turut berubah. Barang-barang itu kini hadir semata-mata untuk dijual. Dengan menyayangkan Sanento berkata:
Tidak tahu membuat barang-barang baru, mereka terus membuat barang-barang lama yang sudah tidak ada gunanya, dan tanpa sedikit pun penguasaan terhadap pasar. Dalam frustasi, mereka mengharap-harapkan uluran tangan pihak luar, dan pihak atas, untuk memasarkan hasil kerja mereka—untuk menyelamatkan “identitas” mereka yang terancam punah.
Ironi memang, ketika identitas fisik itu menjadi kebanggaan etnik atau kelompok masyarakat, produksi barang-barang itu tinggal tergantung pada permintaan dunia luar, yang bahkan tak membutuhkannya. Mereka hanya melihat benda-benda itu dengan tatapan seorang turis asing. Tak ada ikatan nilai barang itu dengan mereka, kecuali pandangan eksotisme belaka.
Dalam arsip “Seni Damar Kurung Sebagai Tumpuan Hidup”, damar kurung Masmundari pada mulanya dikerjakan dengan cat pewarna roti dan media kertas bekas. Seperti pelaku seni rupa bawah lain, Masmundari terus hidup terlilit masalah keuangan dan tak pernah lepas dari jerat kemiskinan. Demi kebutuhan akan kelangsungan hidup mereka, para perupa itu mesti bekerja dengan apa yang ada; sampah (kertas, kaleng, plastik, dan lain-lain).
Sambutan dalam pemanfaatan kembali barang buangan lebih bergaung di kalangan seni rupa bawah daripada seni rupa atas, sekalipun wacana semacam itu justru santer dibicarakan di ruang-ruang seni yang megah. Dalam posisinya, kaum seni rupa bawah juga rawan menjadi objek kecerdikan pedagang, pemerintah, pembinaan industri, bahkan seniman atas dan institusi seni itu sendiri.
Munculnya para perupa dan praktisi seni terdidik memonopoli secara eksklusif tugas penggagasan dan penciptaan. Pada beberapa kesempatan, kerap dijumpai seniman-praktisi seni atas yang menggunakan peran pelaku seni rupa bawah dalam proses kerja seni mereka. Di sini acap kali para pelaku seni rupa bawah itu berdiri sebagai objek material, pekerja, atau bahkan buruh. Ketika karya sudah berada di galeri, praktisi seni rupa atas dengan reputasinya akan berkata panjang lebar dan merasa “bertanggung jawab” terhadap “pesanan’’ mereka itu.
Akhir kata, melihat keterbukaan pandangan seni yang semakin luas, sudah saatnya kesempatan itu digunakan untuk menjangkau kerja-kerja seni yang lebih memihak lapisan sosial bawah. Karena hanya dengan begitulah “seni sebagai kegembiraan bekerja” dapat dinikmati oleh segenap tingkatan sosial masyarakat.