Beberapa waktu terakhir, tim kerja Biennale Jogja XVI mengadakan ekskursi untuk menyusuri warisan pemikiran Y.B. Mangunwijaya, budayawan multidimensi yang jejaknya merentang dalam bidang sastra, pendidikan, atau arsitektur. Sebagian lain juga mengenal Romo Mangun sebagai rohaniwan yang berpihak pada orang-orang kalah. Jejak aktivismenya tertinggal di perkampungan bantaran Kali Code, Pantai Grigak di Gunungkidul, hingga Waduk Kedung Ombo.
Kali ini, kami ingin mengaji kembali khazanah pemikiran Romo Mangun melalui buku-buku yang pernah ia tulis dan mengunjungi beberapa tapak penting di Yogyakarta. Kunjungan terbagi dalam dua sesi, pertama diadakan pada tanggal 31 Agustus 2021 dengan menyusuri perkampungan di pinggir Kali Code dan beberapa karya arsitektur Romo Mangun yang memenangi penghargaan Aga Khan Award tahun 1992. Sesi kedua dilaksanakan pada tanggal 7 September 2021 dengan mengunjungi dua lokasi: Wisma Kuwera dan Gereja Katolik St. Albertus Agung di Jetis, Yogyakarta.
Ekskursi ini tidak saja bertujuan untuk merekonstruksi narasi hidup Romo Mangun, nguri-uri masa lalu yang telah lewat, tapi lebih dari itu berusaha untuk mengamati apa yang ditinggalkan dan relevansinya untuk masa depan. Bagi kami, Romo Mangun memang besar, tapi apa ya betul sebesar itu?
Dalam sebuah wawancara di Majalah Matra edisi April 1988, Romo Mangun bahkan pernah bilang bahwa ia “tidak mau menjadi Godfather“. Sehingga kami rasa, ia memang ingin diposisikan apa adanya, sesuai dengan konteks zaman. Tidak perlu berlebihan, namun pemikirannya tetap penting untuk selalu diperbarui dan dikalibrasi ulang.
Perjalanan menyusuri pemukiman di Kali Code dimulai dari Kampung Juminahan. Nopel, seorang warga setempat, yang juga menjadi bagian dari tim Biennale Jogja, menjadi pemandu dalam perjalanan ini. Ia bercerita bahwa hunian di Kampung Juminahan diperkirakan mulai berkembang sejak tahun 1960an. “Ketika kakekku mulai tinggal di sini, sebagian kampung ini masih berupa kuburan Cina,” kata Nopel.
Sejak saat itu, arus urbanisasi dari wilayah di pinggiran kota membuat pemukiman di Kampung Juminahan terus bertambah luas. Kepadatan penduduk tidak sebanding dengan ketersediaan lahan yang terbatas. Rumah-rumah saling bertumpuk memanfaatkan setiap jengkal tanah. Kami juga mencermati ada beberapa bentuk intervensi pemerintah berupa dua rusunawa yang dibangun pemerintah pada tahun 1990an dan percantikan talud sebagai taman bermain.
Kemudian kami bergerak menyusuri sungai menuju Ledok Tukangan, melintasi Jembatan Kewek, nongkrong di bawahnya, dan melanjutkan perjalanan menuju Jembatan Gondolayu. Di sepanjang perjalanan, kami menyaksikan berbagai siasat warga memanfaatkan lahan terbatas. Baliho-baliho politik bersanding dengan mural dan grafiti yang menghiasi tembok rumah warga. Dari balik tembok talud kami melihat beberapa anak sedang menangkapi ikan wader dengan jaring dan ember kecil. Nopel mengingat banjir parah yang melanda Kali Code sesaat setelah Gunung Merapi meletus bertahun-tahun silam. “Karena banjir lahar dingin, sungai jadi lebih dangkal, ikan-ikan juga makin sedikit,” kata Nopel.
Dari Jembatan Gondolayu, kami mampir ngaso di sebuah angkringan, memesan es teh dan gorengan, lalu turun ke kampung di bawahnya. Di sinilah, Romo Mangun pernah tinggal. Mula-mula di Code-Terban (1981-1983), lalu di Code-Gondolayu (1983-1986). Ia mendampingi warga yang saat itu terancam digusur, mengorganisir mereka, lantas membangun bersama mereka. Perkampungan yang sebelumnya dianggap kumuh, pelan-pelan dinaikkan martabatnya.
Darwis Khudori, dalam sebuah artikel, pernah menulis bahwa praktik Romo Mangun di Kali Code memposisikan arsitek sebagai “abdi” dan “pandu” sekaligus1Darwis Khudori, “Paradoks Romo Mangun: Arsitek-Humanis dan Tempatnya di dalam Transformasi Mental Manusia Indonesia” dalam buku Mendidik Manusia Merdeka: Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. Interfidei. Yogyakarta: 1995. Hal. 138-139. Sebagai perancang, ia tidak hanya menjadi “pandu” yang mengedepankan ego dan selera artistik personalnya, melainkan juga sebagai “abdi” yang mendengar keinginan dan aspirasi warga Kali Code. Laku arsitektur Romo Mangun di Kali Code menyiratkan ke-berpihakan-an arsitektural. Di mana rancang bangun arsitektur bukanlah tujuan akhir, melainkan menjadi suatu wahana untuk membela keberadaan masyarakat kelas bawah2Yuswadi Saliya, “Membangun” dalam buku Mendidik Manusia Merdeka: Romo Y.B. Mangunwijaya 65 Tahun. Interfidei. Yogyakarta: 1995. Hal. 201-202.
Namira, salah satu peserta magang di Biennale Jogja, kali ini menjadi penunjuk jalan. Ia pernah ke kampung ini sebelumnya dan menuntun kami menuju sebuah perpustakaan kecil yang dimaksudkan juga sebagai museum untuk mengenang aktivisme Romo Mangun. Kami sempat ngobrol dengan pengelolanya, lalu melanjutkan penziarahan ke balai warga dan dua bangunan rumah tinggal yang letaknya saling berdekatan.
Balai warga Gondolayu yang dirancang oleh Romo Mangun ini memiliki struktur berbentuk huruf A—geometri serupa dapat ditemui juga pada rancangan Romo Mangun di Kompleks Peziarahan Sendangsono. Bangunan dua lantai sederhana yang berdiri di atas pondasi batu kali tersebut bertiang kayu dan berdinding bambu. Singkatnya, menggunakan bahan-bahan yang mudah didapatkan di sepanjang Kali Code. Kondisinya tak lagi prima. Tampaknya juga sudah mulai jarang digunakan untuk pusat aktifitas warga. Sebuah pigura menggantung di tengah ruangan berisi sertifikat kemenangan Aga Khan Award.
Satu hal yang menarik adalah balai ini dibangun tepat di atas jalur pelimbahan air yang mengalir langsung ke Kali Code. Saya jadi teringat dengan karya arsitektur Fallingwater yang dirancang oleh arsitek Amerika Frank Lloyd Wright pada 1939. Fallingwater menjadi terkenal karena dibangun pada tapak spesifik di atas sebuah sungai dan air terjun. Apakah balai warga Gondolayu ini merupakan olok-olok Romo Mangun terhadap salah satu ikon arsitektur modern itu?
***
Kunjungan berikutnya dengan tujuan Wisma Kuwera dan Gereja Katolik Jetis diikuti oleh lebih banyak peserta. Beberapa orang di luar tim kerja Biennale Jogja turut serta. Kami berboncengan motor membelah Kota Yogyakarta, menuju Jalan Gejayan dan berbelok ke Gang Kuwera. Di ujung jalan, rumah kediaman Romo Mangun berada. Saat ini, rumah tersebut berfungsi sebagai kantor Yayasan Dinamika Edukasi Dasar, lembaga pendidikan eksperimental yang dibentuk Romo Mangun, dan asrama mahasiswa.
Melalui Wisma Kuwera, kami mulai menjejak pemikiran Romo Mangun pada dua pokok: arsitektur dan edukasi. Selama hidupnya, Romo Mangun memang memiliki perhatian besar dalam bidang pendidikan dasar. Baginya, pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai rasionalitas dan religiositas merupakan sarana pemerdekaan manusia. Di sebuah sudut ruangan di Wisma Kuwera terdapat sebuah gambaran ekosistem pengetahuan berbentuk pohon yang dirumuskan oleh Romo Mangun. Gambar serupa juga dapat dilihat di muka SD Mangunan di Kalasan.
Saya jadi teringat dengan wawancara antara Romo Mangun dengan Daniel Dhakidae mengenai pendidikan bagi masyarakat kelas bawah. Dalam obrolan itu, Romo Mangun mengkritisi bentuk pendidikan yang elitis, yang mencetak “bibit terbaik” dan hanya dapat diakses oleh masyarakat kelas atas. Selain itu, ia juga mengkritisi dunia pendidikan yang berjalin kelindan dengan logika industri dan menumbuhkan kepatuhan ala militer. Mengenai ideologi pendidikan di masa Orde Baru, kurang lebih Romo Mangun berkomentar: jika pendidikan dimaksudkan untuk menuju ekonomi lepas landas, tampaknya perlu dijelaskan siapa saja yang dapat terbang lepas dan siapa pula yang menjadi landasannya?
Menyusuri rumah tinggal Romo Mangun, kita akan menemukan sebuah pemandangan yang lain lagi warnanya. Dapat dikatakan bahwa Wisma Kuwera dirancang sebagai rumah tumbuh yang dibangun bertahap. Berdiri di atas lahan yang cukup luas, Wisma Kuwera terdiri dari berbagai ruangan yang saling terhubung. Sekat antar ruangan dirancang terbuka dan memiliki kesan ringan, karena selain mempermudah penghawaan juga memungkinkan pandangan jadi lebih leluasa. Sangat menarik memperhatikan tektonika dan elemen ornamental Wisma Kuwera, terutama bagaimana Romo Mangun menyusun struktur, menggubah massa bangunan, memanfaatkan material, dan mempermainkan sifat plastis dari beton. Karena satu ruangan terhubung dengan ruangan lainnya, menelusuri Wisma Kuwera seperti masuk ke dalam labirin dengan nuansa dan ketinggian yang berbeda-beda. Suliswanto, salah satu peserta magang di Biennale Jogja, menggambarkan pengalamannya mengunjungi Wisma Kuwera seperti membaca tulisan Romo Mangun. Ia mengatakan bahwa, “seluruh ruangan sambung-menyambung, seperti kegemaran Romo Mangun menyusun kalimat-kalimat penuh koma dalam novel-novelnya.”
Usai menyusuri “labirin” di Wisma Kuwera, kami makan siang di warung Soto Rembang yang berjarak sepelemparan batu. Perjalanan dilanjutkan ke Gereja Katolik Jetis di mana Romo Mangun pernah mengabdi sebagai pastor paroki sejak tahun 1968. Pada beberapa sudut dari gereja ini kita dapat melihat jejak-jejak arsitektural Romo Mangun. Salah satu yang paling mencolok adalah relief mural berbentuk pohon kehidupan di muka gereja. Stilasi bentuk pohon kehidupan mudah sekali ditemukan sebagai gaya ornamen pada bangunan-bangunan Romo Mangun. Khusus di Gereja Katolik Jetis, pohon kehidupan itu ditingkahi oleh beberapa burung. Bisa jadi burung-burung putih itu merupakan visualisasi roh kudus, satu simbol penting dalam agama Katolik.
Tebo, salah satu tim kerja Biennale Jogja, menyampaikan pendapatnya bahwa sangat mungkin penggambaran pohon kehidupan di fasad Gereja Katolik Jetis itu terinspirasi dari bentuk gunungan wayang, di mana simbol tersebut juga mewakili kosmologi dan pandangan spiritual masyarakat Jawa terhadap dunia.
Saya jadi teringat dengan beberapa tulisan Romo Mangun mengenai konsep inkulturasi dan gereja diaspora di Indonesia. Bahwa ajaran Katolik, yang membawa pencerahan dan modernisasi Barat, harus dapat bersanding dan melebur dengan konteks budaya milik masyarakat setempat. Hal serupa juga tampak dalam rancangan Gereja St. Maria Fatima, Sragen yang dibuat Romo Mangun tahun 1965 di mana gubahan bentuk dari gereja tersebut sangat dipengaruhi dengan bentuk atap joglo Jawa.
***
Melalui dua perjalanan tersebut, kami mencoba memikirkan ulang mengenai warisan-warisan pemikiran Romo Mangun tidak saja pada arsitektur sebagai laku yang berpihak dan pendidikan sebagai wahana pemerdekaan, tetapi juga pada nilai-nilai kemanusiaan, sikap-sikap kritis terhadap penguasa, serta dorongan inkulturasi agama agar dapat bersanding baik dengan budaya yang lebih dulu ada. Kami pikir ini adalah warisan yang relevan untuk dibaca kembali saat ini. []