“Di antara dua samudera dan dua benua.”
Begitu kita sering diajarkan tentang geografi kepulauan Indonesia saat di sekolah dulu. Kalimat itu sesungguhnya mencerminkan betapa kita sudah dekat dengan kebudayaan maritim Hindia dan Pasifik secara bersamaan. Hingga kini, Indonesia menjadi tetangga Oseania yang paling dekat secara geografis, namun masih jarang perbincangan mengenai hubungan kita dengan bangsa-bangsa Pasifik. Dalam perbincangan Membaca Oseania dari Rumah Sendiri, kita disadarkan bahwa kebudayaan Pasifik tidak sejauh yang kita perkirakan. Ayos Purwoaji dan Elia Nurvista sebagai kurator Biennale Jogja XVI memandu kita ke perkenalan awal tentang jejak Oseania dan kebudayaannya yang ada di Indonesia pada saat ini.
Enrico Yory Kondologit adalah seorang antropolog dan kurator Museum Lokabudaya Universitas Cendrawasih; berbincang dengan pemandu diskusi mengenai budaya material dan permuseuman di Papua. Sebagai pengantar, Enrico memperkenalkan kita pada berbagai bentuk budaya material yang ada di Papua melalui berbagai artefak arkeologis dan fakta antropologis. Enrico menerangkan bahwa, artefak budaya yang dimiliki oleh kurang lebih 250 kelompok etnis di Papua memiliki ikatan erat dengan orang Mikronesia dan Polinesia. Ia memberi contoh berbagai kesamaan bahan alat rumah tangga seperti penggunaan kulit kayu di berbagai bahan segala peralatan, bahwa konektivitas sistem keluarga dan sosial bisa dilihat dari kesamaan pembuatan totem penyu sebagai simbol kesuburan; begitu pula dengan kesamaan bentuk piring makan orang Asmat dan orang Trobriand Islands yang ada di Papua Nugini yang menggambarkan kehidupan kolektif di dalam sistem sosial kelompok etnis.
Selain alat rumah tangga, alat transportasi juga menjadi tanda eratnya hubungan Papua dengan bangsa-bangsa Oseania. Kebutuhan kelompok etnis Papua pesisir mencakup perahu dan dayung yang kemudian menciptakan identitas unik dari tiap klan. Identitas ini tercermin dari ukiran muka perahu yang berbeda dari tiap kampung dan kelompok etnis. Muka perahu ini selain menjadi simbol identitas juga merupakan amulet atau jimat keselamatan bagi para pelaut. Dayung yang diukir juga dibuat khusus untuk melengkapi perahu di tiap kelompok; dengan kata lain perahu dan dayung memiliki ukiran yang senada. Alat musik dan ritual adat Pasifika juga tercermin dalam kebudayaan Papua, misalnya alat musik triton dan tifa, serta penggunaan alat bayar mas kawin dengan babi dan berbagai aksesoris hewan laut.
Menurut Enrico, degradasi budaya di Papua juga dirasakan oleh bangsa Pasifik; bahwa kesadaran orang Pasifik dan Papua tentang budaya asli mulai berkurang karena masuknya modernisasi dan pembangunan. Untuk menanggulanginya, berbagai upaya pelestarian dengan cara baru juga dilakukan, misalnya dengan kajian tertulis dan perekaman video budaya material untuk rekonstruksi budaya. Enrico memandang bahwa budaya lisan Papua menjadi suatu bentuk kelemahan untuk diseminasi pengetahuan turun temurun yang menyebabkan kurangnya perekaman budaya secara tertulis sebagai bukti sejarah; apalagi menurut berbagai cendekia Oseania, kebudayaan Pasifik yang masih lengkap dan murni bisa dilihat di Papua. Ini menjadi sebuah contoh nyata tidak bisa melihat hitam putih dalam pelestarian budaya, tapi teknologi dan modernisasi juga bisa memberikan keuntungan bagi pelestarian.
Teknologi dan modernisasi juga memudahkan anak muda di Ambon dari latar belakang agama dan keluarga yang berbeda untuk menjadi dekat melalui seni dan mewujudkan rekonsiliasi. Peter Ajawaila sebagai bagian dari Paparisa Ambon Bergerak mengemukakan tentang linimasa pergerakan kolektif di Ambon yang terpantik dari konflik horizontal tahun 1999 antara kelompok Muslim dan Kristen. Perbedaan agama di Ambon menyebabkan segregasi walau sudah mereda di tahun 2004. Pierre dan teman-teman segenerasinya yang bersekolah keluar Ambon merasakan kotanya menjadi berbeda pascakonflik; utamanya di aspek solidaritas dan toleransi keberagaman yang ia pernah rasakan sewaktu kecil.
Berangkat dari keresahan akan pemisahan yang ada karena konflik, Ambon Bergerak lahir mengumpulkan berbagai komunitas muda yang ada di Ambon di tahun 2009. Ambon Bergerak ada sebagai gerakan penyatuan yang bersifat kolaboratif antara kelompok seni muda. Pemuda Ambon mulai menunjukkan signifikansi suara mereka melalui keterlibatan di berbagai kampanye sosia, seperti pada tanggal 11 September 2011 yang menjadi momentum pemuda Ambon dari tempat yang dianggap rusuh, gerakan Ambon Bergerak menyuarakan isu di sosial media ke berbagai petinggi media untuk mengubah pandangan media massa agar tidak menyesatkan pandangan publik hanya ke dokumentasi konflik masa lalu.
Kebersamaan ini kemudian juga membuka ruang untuk berjejaring dan memperluas resonansi isu, baik daring maupun luring. Seni sebagai media ekspresi dipandang Pierre sebagai hal yang mempromosikan kegiatan kolaboratif; selain itu, seni juga merupakan bentuk yang menarik perhatian audiens yang lebih luas. Berbagai agenda seni yang dilakukan oleh kolektif yang tergabung dalam Ambon Bergerak yang bertujuan untuk memberikan ruang berkarya bagi seniman muda maupun kampanye isu-isu sosial; beberapa proyek tersebut antara lain Art for Peace, Trotoart, Konspirasi Puisi, Urban Genitals, Ambon Art Walk, hingga menggunakan seni sebagai respon isu lingkungan seperti di Kepulauan Aru yang dengan kampanye #SaveAru. Banyaknya program dan kolektif yang dinaungi membuat Ambon Bergerak merasa perlu membuat ruang yang lebih terpusat dan memudahkan komunikasi antar kolektif, maka lahirlah Paparisa Ambon Bergerak sebagai sentra kegiatan pemuda dan seni di Ambon. Di tahun 2020, Ambon Creative Expo diadakan untuk memperluas kembali suara muda Ambon dan memperbaharui khazanah kreativitas di era industri kreatif. Hal ini menjadi cermin bahwa dinamika seni lintas disiplin di Ambon lebih cair dan menjadi alat rekonsiliasi sosial yang dekat dengan komunitas.
Mengenal suara seni dari timur Indonesia yang membuat kita sadar akan kayanya pemikian dan lapisan pengetahuan di wilayah tersebut. Museum Lokabudaya memiliki koneksi yang baik dengan berbagai institusi di luar negeri untuk keperluan reparasi, metode ekskavasi, dan perawatan benda-benda. Bicara permuseuman juga tidak lepas dari soal repatriasi, yang ternyata juga menjadi isu penting di Papua. Enrico menyampaikan bahwa data budaya material Papua paling banyak disimpan di Belanda, Jerman, Prancis, dan Inggris. Hal ini juga terkait dengan sejarah Museum Lokabudaya yang terikat dengan Rockefeller Foundation di Amerika Serikat. Koleksi yang ada di museum ini sebagian besar merupakan hasil ekspedisi Asmat dan Wamena yang ditemukan Michael Rockefeller. Koleksi yang ada juga sudah pernah berada di Museum of Metropolitan Arts di New York City sebelum akhirnya dikirim kembali saat Universitas Cendrawasih berdiri. Selain itu, upaya repatriasi berbagai budaya material lain, seperti artefak dari Raja Ampat di Troppenmuseum dan patung pakis masyarakat adat Skouw di Swiss sedang coba diwujudkan melalui studi banding dan korespondensi antar institusi.
Bagi Enrico, Arnold Ap yang merupakan kurator pertama di Papua dan peneliti antropologi menjadi sosok panutan yang semangatnya ingin ia teruskan. Salah satu filosofinya tentang artefak adalah bahwa benda-benda budaya material di museum adalah entitas yang hidup bukan hanya benda mati. Arnold Ap juga dipandang memiliki program kuratorial yang inovatif pada di tahun 1978. Ia membentuk kelompok musik Mambesak di mana setiap personilnya harus bisa menghafal cerita di balik artefak musik yang mereka mainkan, sehingga mereka bisa memperkenalkan budaya Papua. Grup ini berdiri dalam ancaman operasi militer, sampai Arnold Ap meninggal pada saat mencoba mengungsi ke Papua Nugini.
Cerita tentang Arnold Ap ini masih relevan hingga sekarang di konteks pergerakan pemuda di timur Indonesia. Pierre menyampaikan bahwa gerakan kesenian dan kepemudaan di Ambon berumur singkat karena bagi pemuda di sana, berkarier di bidang seni bukan jadi pilihan yang mampu menopang keberlanjutan hidup dan perkembangan diri. Perbincangan ini menjadi refleksi penting tentang wajah seni dan pergerakan sosial masyarakat Oseania di Indonesia; yang semestinya lebih mampu berdaya dan melanjutkan terus setiap inisiatif yang diawali dari semangat kemandirian.