Alunan musik bertajuk “Yang Tak Pernah Ada”, membuka acara malam itu. Audiens hanyut dalam alunannya. Musik yang digarap oleh Fajar Merah dan Gunawan Maryanto, membawa banyak memori bagi mereka tentang Gunawan Maryanto.
Kepergian Gunawan Maryanto atau yang kerap disapa Chindil, meninggalkan kesedihan bagi kerabat dan teman-teman yang mengenalnya. Ruang Pendopo Ajiyasa malam itu dipenuhi oleh mereka yang mengenang kepergian Gunawan Maryanto.
“Saya sendiri sampai saat ini masih kehabisan kata-kata, jika mengingat kejadian itu,” kenang Alia Swastika selaku Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta dalam acara Doa Bersama dan Baca Karya Gunawan Maryanto “Chinil” pada Minggu (10/10), empat hari setelah kepergian sosok yang banyak dikenal di bidang seni, utamanya sastra dan teater.
Pembacaan doa bersama, serta pembacaan karya Gunawan Maryanto, digelar selepas Maghrib. Beberapa sahabat yang hadir pun menyampaikan kenangan mereka dengan Gunawan Maryanto semasa hidup.
Sekar Sari membaca bait-bait puisi Sakuntala dari buku Sakuntala karya Gunawan Maryanto.
Penampilan pertama dari Sekar Sari. Ia menaiki panggung dengan langkah elegan, membuka lembaran dari buku puisi Sakuntala karya Gunawan Maryanto. Dengan tenang dan khidmat ia membaca puisi tersebut.
“Sakuntala, aku berangkat,” tuturnya.
Malam semakin larut, acara pun terus berlanjut. Satu per satu seniman berpartisipasi dalam pembacaan karya. Hingga tiba giliran Joko Pinurbo membacakan karya. Ia masuk ke panggung, membawa secarik kertas dalam genggaman.
“Sebetulnya saya belum siap ini. Belum siap ditinggal Chindil juga sebenarnya,” ungkapnya sebelum memulai membacakan karya.
Jokpin, sapaan akrabnya, membacakan tiga fragmen dari buku Sakuntala. Suaranya bergetar. Namun tetap tegas, menyelesaikan pembacaan puisi yang telah ia mulai. Kertas dalam genggamannya pun turut bergetar.
Pendopo bertambah ramai, beberapa audiens memilih duduk beralaskan lantai. Satu per satu sahabat mulai berbicara kenangan mereka bersama Gunawan Maryanto semasa hidup. Tak ayal beberapa audiens tampak menyeka air mata.
Tiba saat perwakilan dari Teater Garasi menaiki panggung. Yudi Ahmad Tajudin dan Arsita Iswardhani membacakan karya, serta sedikit bercerita tentang kenangan bersama sahabat mereka yang sudah seperempat abad menghidup-hidupi Teater Garasi.
Yudi mencoba mengutip kalimat refleksi yang disampaikan Gunawan Maryanto dalam projek terakhir mereka.
“Apakah yang seniman lakukan cukup? Apakah yang seniman lakukan untuk menemani warga yang tidak dibela oleh negaranya sendiri, oleh pemerintahnya sendiri, cukup? Itu pertanyaan terakhir dia. Dan saya kira mungkin sekarang dia sudah menemukan jawabannya.”
Sita berdiri di samping Yudi. Walaupun tertutup masker, wajahnya tampak sembab. Ia menyanyikan lagu dari Kroncong Mendut, yang juga salah satu karya dari Gunawan Maryanto. Beberapa kali Sita menarik napas dalam-dalam, menahan isak tangis yang siap keluar kapan saja.
Nyanyian Sita memenuhi ruangan. Semua orang hanyut. Suaranya terasa sangat menahan pilu.
“Barangkali sampai nanti, habis waktuku, kau tak kan pernah… menyerahkan cintamu.”
Sita menyanyikan lirik terakhir. Ia tertunduk sedih beberapa saat, kembali menarik napas untuk tetap berdiri tegak.
Yudi langsung mengambil alih. Ia membacakan sebuah puisi. Suaranya menggema, membaca bait demi bait puisi dengan emosional.
“Uler Kambang. Cahaya yang mengambang di permukaan telaga. Sisik-sisik naga yang berganti warna. Dingin memaksaku merapatkan pakaian. Memeluk erat ingatan agar tak jatuh sakit, ingatan tentangmu.”
Tepuk tangan audiens mengiringi bait terakhir puisi “Jineman Uler Kambang” itu. Yudi beranjak meninggalkan panggung, bersamaan dengan Sita yang kembali bangkit. Lututnya luruh di tengah pembacaan puisi oleh Yudi.
Dian Suci Rahmawati “Ultramen” (kiri) setelah membaca puisi Sakuntala bersimpuh di hadapan Yudi Ahmad Tajudin (kanan).
Sosok Gunawan Maryanto meninggalkan kesan yang baik pada orang-orang yang mengenalnya. Ia juga dikenal sebagai sosok yang telah menyentuh hati banyak orang. Satu per satu rekan kerja dan sahabat yang hadir malam ini, tidak henti-hentinya menyampaikan kebaikan dan pribadinya yang istimewa bagi mereka.
“Saya bukan siapa-siapanya Mas Chindil. Saya baru mengenalnya beberapa bulan lalu. Tapi saya mengenali Mas Chindil dengan satu hal, Mas Chindil adalah guru,” suara Farid Stevy bergetar kala menceritakan kesannya pada Gunawan Maryanto. Air mata pun masih mengalir, walau sudah beberapa kali disekanya.
Di antara para sahabat Gunawan Maryanto lainnya yang turut ke atas panggung adalah Agus Noor, Naomi Srikandi, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF), Studio Pertunjukan Sastra (SPS), Muhidin M. Dahlan, Kedung Darma Romansha, Komunitas Sakatoya, dan Ihsan Zulkarnain. Juga hadir secara daring Farah Wardani, Inez Dikara, Kris Budiman, dan puluhan sahabat lainnya. Di luar Pendopo Ajiyasa, para sahabat juga berkerumun menjadi saksi malam itu.
Mendekati penghujung acara, rasanya acara yang berlangsung selama dua jam itu masih belum cukup untuk mengenang dan membacakan karya-karya dari Gunawan Maryanto. Sebagai penutup, Joned Suryatmoko yang turut hadir lewat Zoom, membacakan sebuah tulisan yang khusus ia buat untuk mengenang sosok Gunawan Maryanto.
“Kudu gresek iki. Demikian ucap Chindil mengomentari usaha awal IDRF waktu itu untuk mengumpulkan naskah yang akan kami tampilkan.”
Joned membuka bacaan tulisannya dengan ingatan ketika Gunawan Maryanto masih menjabat sebagai penata program IDRF. Ia membaca tulisan itu dengan mata yang tampak berkaca-kaca. Benar saja, Joned tidak dapat melanjutkan pembacaannya. Suaranya sedikit bergetar saat mengakhiri bacaan tersebut.
Raga Gunawan Maryanto ‘Chindil’ memang telah meninggalkan dunia ini. Namun jiwanya akan selalu hidup dan terkenang dalam karya dan memori yang ia tinggalkan. Selamat jalan, semoga tenang di rumahmu yang baru.