Selasa (12/10), matahari pukul 14.00 tidak mampu menyengat kami di dalam Pawon Pagesangan. Buktinya, kami mampu menikmati nasi thiwul sambil berbincang dan sesekali melempar gurauan.
Bangunan bundar berdinding bambu itu jadi perhelatan kunjungan Linda Nu’a ke Sekolah Pagesangan di dusun Wintaos, Girimulyo, Panggang, Gunung Kidul. Kegiatan ini dijuluki Program Residensi Seniman: Residensi Mama Fun, sapaan akrab Linda, bagian dari program Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Dia mewakili komunitas seni, literasi, dan pangan lokal asal Mollo. Lakoat.Kujawas, namanya.
“Di Mollo juga ada ini,” ujar Mama Fun sambil menunjuk thiwul yang sedang disantapnya. Beralas daun pisang, nasi thiwul dibuat manis alih-alih asin. Mama Fun bilang, di Mollo olahan singkong ini disantap sebagai makanan utama bersama lauk yang ditemani sambal lu’at.
“Biasanya pun demikian,” timpal Murniyatun selaku perwakilan dari Sekolah Pagesangan.
Timpalan Murni disambut oleh salah satu peserta. Freddy, pendamping Mama Fun, berkisah soal thiwul yang biasa disantap bersama sambal, sayur, dan tempe garit. Serupa dengan di Mollo.
“Nah! Cocok betul itu, mantap!” seru Titis, peserta dari tim Biennale Jogja XVI, yang kemudian disambut oleh anggukan ibu-ibu pegiat Sekolah Pagesangan yang turut hadir di Pawon.
Tidak hanya berhenti pada perkara thiwul, berbagai kesamaan antara Mollo dan Wintaos kemudian mencuat satu per satu lewat obrolan santai. Saking santainya, presentasi Power Point yang kadung disetel Murni, dianggurkan begitu saja. Semua larut dalam tukar pikiran.
Soal visi komunitas, misalnya. Murni menekankan bahwa Sekolah Pagesangan hadir untuk membuat warga Wintaos mampu berdaya dari dan di desanya. Begitu pula Mama Fun.
Kesamaan juga ditemukan pada lanskap lingkungan. “Lingkungan Mollo kurang lebih seperti Wintaos. Berbatu namun tetap hijau,” paparnya.
Dia menuturkan bahwa hijaunya kedua desa ini bukan sulap semalam. Namun, semuanya berkat upaya warga untuk menghidupi, bercocok tanam sehingga menghijaukan desanya.
Setelah bicara tentang kesamaan harga air PDAM yang per tangkinya mencapai Rp450.000, pembicaraan berangsur serius. Sembari mengunyah kerupuk singkong dengan bunyi kriuk-nya, Titis bertanya, “Apa tantangan terberat Mama Fun dan Murni dalam membangun komunitas dan memberdayakan desa?”
Keduanya menyebutkan soal anggapan miring dan diremehkan dari warga lain. Dikatai kurang kerjaan dan bikin susah diri sendiri, sudah biasa. Bagi mereka itu bukanlah soal. “Tersedotnya sumber daya manusia ke perkotaan adalah masalah yang paling serius,” jawab keduanya, prihatin.
Bahkan, perkara laju kencang urbanisasi inilah yang jadi pemantik berdirinya kedua komunitas pemberdayaan desa ini. Mama Fun punya beragam kisah menarik dari daerahnya soal urbanisasi. Mulai dari perempuan yang keluar desa demi memperoleh rambut lurus di kota hingga kawan yang berlagak perutnya sudah tidak mampu mengolah jagung. “Omong kosong. Sebab saya tahu sejak kecil anak itu makan jagung di Mollo,” ungkapnya.
Begitu pula di Wintaos. Murni mengakui hanya segelintir warga desa yang terpanggil untuk hidup dari dan di desa. “Dari 40 anggota Sekolah Pagesangan angkatan dua, hanya tersisa saya seorang yang mengabdi sebagai kader di sini,” ucapnya.
Anak muda, keluhnya, banyak yang tergoda iming-iming kota Jogja alih-alih hidup di Wintaos.
Baik Mama Fun ataupun ibu-ibu Wintaos sepakat bahwa satu-satunya yang ditawarkan kota hanyalah gengsi. “Ini soal gaya hidup bahwa seolah kota bisa bikin kita terlihat lebih baik,” tutur Mama Fun.
Saat ditanya soal jaminan merantau dapat lebih sejahtera ketimbang menghidupi tanah leluhurnya, nyaris semua peserta serempak menggeleng.
Bahkan Mama Fun punya kisah pilu soal godaan perkotaan ini. “Banyak warga Mollo yang tergiur tawaran TKI. Pulang bukan bawa gengsi, tapi peti mati,” kisahnya.
Demi menyiasati godaan kota, Murni dan kawan-kawan Sekolah Pagesangan bersiasat. “Bila mereka ke kota cari sejahtera, kita perlu tunjukkan kalau desa juga bisa kasih itu,” tegasnya.
Mialnya berbagai hasil olahan tani dijual oleh Sekolah Pagesangan secara daring dengan label Kedai Sehat Pagesangan.
Demikian pula di Lakoat.Kujawas. Dia bercerita tentang kawannya yang berlagak perlente tadi, yang ogah menelan jagung setelah dilalap kota. “Dia pamer soal pizza dari kota. Kita buktikan kalau Mollo bisa buat itu tanpa perlu merantau,” kisahnya.
Lakoat.Kujawas pun bereksperimen membuat pizza dengan bahan-bahan lokal mulai dari ragi hingga topping-nya.
Pada akhirnya pun, cibiran beringsut jadi penasaran. “Kawan-kawan saya, bahkan dari luar Wintaos, mulai bertanya-tanya soal resep ini dan itu,” begitulah pengakuan Murni.
Mama Fun juga kebanjiran pertanyaan tentang teknik pengolahan sayur-mayur hutan. “Padahal, sebelumnya mereka bilang cocok tanam adalah kesia-siaan sebab semua bisa dibeli. Akhirnya, toh mereka penasaran juga,” ungkapnya sambil tertawa puas.
Begitulah siasat Mollo dan Wintaos menangkal godaan kota. Obrolan yang terus memenuhi benak saya bahkan di belokan terakhir sebelum gapura Wintaos.
Saat itulah, di sebelah kiri jalan, saya melihat Barber Shop di sana. Selain soal sejahtera, warga desa juga mampu dan perlu untuk mengada-menggaya.