Sabtu (9/10) sekitar pukul 10.00 WIB bangku Biennale Forum Curatorial Practice Panel A sudah dihadiri Moderator dan para pembicara. Dari kiri tempat penonton tampak Gesyada Siregar (Kurator, Gudskul) sebagai moderator, Aaron Seeto (Director of Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara), Eka Putra Nanggalu (seniman, KAHE Community, Maumere), dan Dicky Takndare (seniman, Udeido Collective, Papua).
Setelah sedikit pembuka oleh pembawa acara dan sambutan Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika, diskusi segera dikawal oleh moderator. Sebagai awalan, Gesyada menerangkan sedikit tentang tema diskusi “Out of Museum: Collection dan Decentralization.”
Forum tersebut dilakukan luring di Pendopo Ajiyasa, Jogja National Museum (JNM), dan daring melalui Zoom Meeting. Diskusi pagi itu membicarakan strategi kuratorial museum sebagai platform desentralisasi pengetahuan, alih-alih memumifikasikan artefak-artefak budaya. Diskusi berlangsung dalam dua bahasa, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.
Selanjutnya, untuk melihat peran museum di Papua dan praktik artistik, Udeido membayangkan kembali artefak-artefak kebudayaan daerahnya. Gesyada mempersilakan Dicky memulai jalannya diskusi.
Dicky menceritakan tentang ketokohan Arnold Ap dan peran grup Mambesak bagi keberlangsungan seni-budaya masyarakat Papua. Lalu bagaimana Museum Loka Budaya mengalami kemunduran sepeninggal Arnold Ap yang tewas akibat tembakan di punggungnya.
“Setelah Mambesak berhenti, tidak banyak lagi gerakan di museum. Seperti yang saya ceritakan, Udeido bergerak di luar dan Udeido melakukan pendekatan seni rupa kontemporer kepada karya-karyanya. Jadi kami menggali kembali konsep-konsep lama dari berbagai buku, berbagai catatan. Arsip, data yang kami temukan, kami gunakan untuk melihat situasi Papua masa kini,” ujar Dicky.
Dicky menambahkan bahwa Udeido dibentuk dengan semangat seperti Mambesak, grup musik rakyat yang didirikan di Universitas Cendrawasih, demi melihat isu-isu politik dan lingkungan di Papua dalam kacamata seni.
Dari Papua, selanjutnya moderator bergeser ke Maumere. Eka kemudian menjelaskan bagaimana praktik menghidupkan kembali Museum Bikon Blewut. Kerja itu ia lakukan bersama Komunitas KAHE dalam mengelola pameran “Reimagine Bikon Blewut”, yang merupakan bagian dari Docking Program Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
“Intervensi kami adalah, kami ingin agar ada diseminasi pengetahuan dari artefak-artefak (Bikon Blewut) itu. Yang kedua kami ingin me-rebranding museum itu, memberinya konteks, dan memberi akses publik lebih leluasa,” kata Eka.
Sesudah presentasi oleh Eka, lalu Gesyada memberikan kesempatan kepada Aaron untuk menyampaikan pandangannya terkait relasi kuasa dan desentralisasi seni.
Aaron mengutip pernyataan seniman asal Britania Raya, Rasheed Areen, “He’s saying that in the attempt to make global exhibitions, if we wanted to decentral and destabilize that “centre” and “periphery”, we must also be aware of the power dynamics that we have to also change those in our qualities.”
Menurutnya, sebagai upaya desentralisasi praktik seni “pusat” dan “pinggiran”, kita harus menyadari dinamika kekuasaan yang kita miliki.
Seusai penyampaian dari semua pembicara. Diskusi diteruskan dengan membuka sesi tanya jawab. Selain Panel A, hari ini Biennale Forum juga akan mengadakan diskusi Panel B “Migration, Land, Home” pada pukul 14.00 WIB.