O Grecele adalah sebuah pameran yang digagas kelompok Juanga Culture (yang berisikan anak-anak muda Maluku Utara) dan Broken Pitch (sebuah kolektif seniman-seniman muda Yogyakarta). Kedua kelompok ini juga menampilkan karya mereka di pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 201 serta sempat menghelat Boki Emiria Show sebagai salah satu praktik produksi mereka yang terafiliasi dengan gelaran seni rupa dua tahunan tersebut. Pameran O Grecele juga menghadirkan pasar sederhana yang mereka beri tajuk “Nuku Mart”.
Bagi saya, mengunjungi pameran ini menjadi suatu peristiwa menarik tersendiri. Menyimak kembali peta geopolitik pra lahirnya ide negara-bangsa, kita dapat menilik hubungan kekerabatan yang erat antara orang Tidore dengan beberapa masyarakat Papua, terutama di wilayah kepala burung hingga perairan Saireri.
Konon, setelah tersingkir dari percaturan politik di negerinya, Pangeran Nuku sempat pergi dan tinggal di pesisir barat Pulau Papua, kemungkinan di jazirah Onin, atau Fak-Fak masa kini. Kekerabatannya dengan masyarakat di wilayah kepala burung Papua itu rupanya telah terbangun sejak lama.
Dalam buku Dit Wenderlijk Werk, F. Ch. Kamma menulis, “Pada tahun 1649, waktu VOC sedang berperang dengan Tidore, datanglah suatu armada yang terdiri dari 24 perahu ke Tidore dengan membawa bahan makanan. Kapal-kapal kecil itu datang dari kepulauan Irian untuk membantu Raja Tidore di bawah perintah seorang bernama Kurabesi.”
Tampaknya, Kurabesi merupakan sebuah gelar yang diemban penguasa wilayah kepala burung itu pada beberapa generasi.
Sultan Nuku adalah keturunan dari Nabi Muhammad Saw yang bernama dan bergelar Saidul Djehad Muhammad El Mabus Amiruddin Sjah Kaitjil Paparangan Jou Barakati. Sultan Nuku tak perna terkalahkan seumur hidupnya. Satu-satunya Sultan di Nusantara yang selama hidupnya selalu menang di pertempuran, baik laut maupun darat
Pada Mei 1796, Nuku yang telah mengkonsolidasi pasukannya selama penyingkirannya di Papua itu, melakukan serangan ke Tidore yang saat itu dipimpin Sultan Kamaludin, yang bagi Nuku telah melangkahi takhta yang seharusnya menjadi haknya. Pasca serangan itu, Nuku memproklamirkan dirinya sebagai Raja Tidore.
Nuku kemudian melakukan sebuah serangan bersejarah lainnya pada tahun 1801, sebuah peristiwa yang oleh Adnan Amal dalam bukunya Kepulauan Rempah dibahas secara epik sebagai serangan yang memojokkan penguasa kolonial, hingga dalam dinamika selanjutnya, resmi mengakui kepemimpinan Nuku dan Tidore sebagai negara merdeka, terpisah dari kompeni Belanda.
Tidak banyak yang tahu bahwa di antara prajurit-prajurit yang berjuang bersama Nuku dari berbagai wilayah seperti Halmahera Timur dan Patani, tak terhitung pula sejumlah prajurit dari Papua.
Muridan Widjojo dalam Pemberontakan Nuku mengisahkan bahwa seorang Sultan Tidore (tidak dikonfirmasi siapa nama sultan itu) menikahkan putrinya, Boki Tabai, dengan Sekfamneri (kadang disebut sebagai Kurabesi). Keturunan mereka menjadi sebagian dari penghuni Kolano Fat, Raja Ampat kini.
Relasi panjang itu mewariskan beberapa istilah di Tidore yang adopsi menjadi nama marga di Papua, seperti ‘Kolano’ yang adalah salah satu jabatan dalam strata kesultanan di wilayah Moluku Kie Raha, kini menjadi marga Korano di masyarakat Biak. ‘Kimalaha’ menjadi Dimara, serta ‘Sangaji’ yang kemudian mengalami fonetik korespondensi dan menjadi Sanadi.
.
Kekerabatan itu berlanjut hingga masa masa selanjutnya. Konon, pada pertengahan abad ke-18, sekitar 40-an tahun setelah Nuku wafat, Sultan Tidore yang seorang muslim memerintahkan kapal-kapal pasukan Tidore untuk ikut mengantarkan dua pria bernama Carl Wilhelm Ottow dan Johann Gottlob Geissler. Pada 5 Februari 1855 mereka membuang sauh di lepas pantai Pulau Mansinam, Papua. Sebuah peristiwa yang tiap tahun diperingati sebagai hari besar bagi masyarakat Papua, hari masuknya Injil ke tanah itu.
Abad berikutnya, muncullah nama Emiria Soenassa yang dalam beberapa kesempatan melakukan praktik kesehatan sebagai seorang perawat di wilayah yang sama yang didatangi Nuku, moyangnya itu ketika menyingkir. Tapi, kisah itu pun tidak setenar perjalanan hidupnya sebagai seorang seniman. Ya, Emiria Soenassa disebut sebagai pelukis modern perempuan pertama di Indonesia.
Sebagai keturunan Sultan, Boki Emiria juga keturunan dari Nabi Muhammad Saw dengan gelar Syarifah, didapatkan dari ayahnya yang bernama Sultan Al Alam Syah.
Ahad malam (7/11), generasi baru dari anak-anak Tidore itu berkumpul dan merayakan para pendahulu mereka dengan cara mereka sendiri. Mungkin salah satu hal yang menjadikan pameran ini menarik adalah di antara karya-karya seniman muda yang dipamerkan di sana, turut hadir salah satu karya Emiria Soenassa. Karya yang merupakan koleksi pribadi seniman kondang Nasirun itu dibawakan sendiri oleh sang kolektor yang juga membuka pameran itu.
Ketika Nasirun hendak meletakkan karya itu di tempat yang telah disediakan sebagai tanda pameran telah dibuka, beberapa anak muda menitikkan air mata. Perempuan yang banyak disebut Emiria Soenassa itu tetap adalah seorang Boki Emiria bagi rakyat Tidore. Putri Raja mereka.