Seperti sebuah puzzle, Pameran Arsip Biennale Jogja mencoba merangkai setiap gagasan yang tampaknya terpotong sepanjang 10 tahun penyelenggaraan menjadi gambar utuh Seri Khatulistiwa. Biennale Jogja Seri Khatulistiwa (Equator) telah diselenggarakan lima kali dan ditutup pada seri keenam tahun ini.
Secara berturut-turut, sejak 2011, Biennale Jogja Seri Khatulistiwa mempertemukan Indonesia dengan India, negara-negara Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara, dan tahun ini dengan Oseania. Pameran ini menjadi rangkaian Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, yang akan digelar dari 6 Oktober hingga 14 November 2021.
Penyelenggaraan yang panjang ini tentu menjadi titik penting untuk membaca kembali dan merefleksikan setiap gagasan yang ditawarkan. Utamanya terkait metode kerja Biennale Jogja yang menghubungkan diri dengan satu wilayah atau satu negara dalam setiap gelarannya. Perjalanan menyusuri garis khatulistiwa ini menjadi langkah bersama untuk memahami perbedaan dan keragaman khazanah budaya.
“Memamerkan arsip ini juga berarti menampilkan kisah pascaperistiwa yang biasanya tidak muncul ketika pameran tersebut berlangsung, sehingga audiens dapat memahami bagaimana pemikiran tetap dirawat, bahkan setelah pameran berlalu. Beberapa arsip yang dihadirkan mengalami modifikasi yang terajut dalam dua kata kunci ‘alih wahana’ dan ‘ruang bermain’. Sebab itulah kami mengangkat tema Game of the Archive,” kata Alia Swastika pada acara Media Preview Pameran Arsip Biennale Jogja di Taman Budaya Yogyakarta pada Selasa (5/10) siang.
Selain menampilkan arsip dan dokumen yang direka secara visual, ujar Alia, pameran ini juga menekankan pada metode spekulatif untuk membaca sejarah, di mana ada kaitan langsung antara masa lalu dan masa depan. Oleh sebab itu, Biennale Jogja mengundang para peneliti untuk melihat bagaimana negara-negara khatulistiwa mempunyai sejarah dan kebudayaan spesifik yang menjadi bagian dari keragaman budaya dunia. Mereka adalah Karen Hardini, Gladhys Elliona, Duls Rumbawa, Arlingga Hari Nugroho, dan Ripase Nostanta Br. Purba.
“Melalui gagasan ruang bermain, kami melihat pameran ini sebagai platform untuk yang menunjukkan mimikri dan simulasi dari kontestasi kekuasaan dalam dunia masa kini, antara yang utara dan selatan, yang lokal dan yang global, tradisi dan modern, dalam suasana kegembiraan dan perayaan hidup, yang juga menjadi ciri dari vibrasi masyarakat selatan,” ujar perempuan yang juga Direktur Yayasan Biennale Jogja itu.
Untuk mewujudkan gagasan itu, para pengelola program mengundang enam seniman dengan beragam latar belakang. Keenamnya adalah Riyan Kresnandi, Mivubi Team, Xhabarabot, Syahrizal Pahlevi, dan Awanda Brima Destia. Sementara untuk Pengarah Artistik & Program Publik digarap oleh Komunitas Sakatoya.
Untuk mengumpulkan karya-karya dari Biennale Jogja Seri Khatulistiwa #1 sampai #5, seniman Riyan Kresnandi berkolaborasi dengan Tim Mivubi untuk membuat museum virtual dengan basis game online.
“Inisiatif ini penting untuk melihat kemungkinan membaca arsip melalui teknologi, serta mengajak audiens game untuk lebih memahami seni,” ujar Alia.
Biennale Jogja Seri Khatulistiwa yang dikerjakan secara berkesinambungan, lanjut Alia, mendapatkan apresiasi positif dari jejaring kerja internasional. Mereka melihat bahwa inisiatif ini merupakan hal penting yang perlu diperluas cakupannya atau menjaring kerja dengan pihak yang lebih banyak lagi. Oleh sebab itu, penting untuk mengingatkan kembali masyarakat tentang penyelenggaraan Biennale Jogja Seri Khatulistiwa ini.
Selain Pameran Arsip ini, di waktu yang bersamaan, pameran utama Biennale Jogja XVI Equator #6 2021 dengan tema Roots <> Routes digelar di Jogja National Museum. Ada pula pameran Bilik Negara Korea dan Taiwan, yang masing-masing diselenggarakan di Museum dan Tanah Liat dan Indie Art House.