Udara cukup gerah saat beberapa awak media melakukan kunjungan di gedung Taman Budaya Yogyakarta pada Selasa (5/10). Ada 12 wartawan yang mengikuti rangkaian preview exhibition kali ini yang merupakan rangkaian dari Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Dipandu oleh Alia Swastika dan guide sitter, mereka tampak antusias mengamati program Pameran Arsip satu dekade Biennale Jogja.
Dalam pameran ini, ada enam peneliti yang terlibat: Karen Hardini dan Gladhys Elliona mengeksplorasi keterhubungan konteks sosial budaya khatulistiwa; Duls Rumbawa dan Ripase Purba yang membicarakan konteks politik global yang memengaruhi geopolitik khatulistiwa; Tomi Firdaus dan Arlingga Nugroho yang mendiskusikan tema dekolonisasi.
“Pameran ini menunjukkan pandangan kritis praktik biennale-making dalam menandingi wacana seni barat,” terang Tomi menjelaskan latar pameran “Game of the Archive” saat kami membicarakan tentang proses penelitiannya.
Tomi Firdaus dan Arlingga Nugroho tergabung dalam Kelompok Tiga melihat geliat Dekolonisasi selama pagelaran Biennale Jogja Equator sejak 2011.
Tepat pada salah satu sudut ruang pamer yang berwarna kuning. Arlingga dan Tomi menampilkan dokumentasi poster, artikel, dan foto acara Biennale di luar Jogja yang sebagian besar dibentuk atas wacana penghapusan daerah jajahan. Juga beberapa buku dengan display yang memungkinkan pengunjung dapat lebih cermat mengamati arsip.
Para peneliti Pameran Arsip Biennale Jogja XVI Equator #6 membaca hasil riset mereka.
“Jadi gagasan tentang dekolonisasi ini bisa dilacak pada perhelatan Biennale wilayah global selatan pascakolonial. Di sini ada nama-nama seperti The São Paulo Biennial (Brasil), Havana Biennial (Kuba), Sharjah Biennial (United Arab Emirates), Kochi-Mozhiris Biennale (India), dan The Lagos Biennale (Nigeria),” ungkap Arlingga Nugroho.
“Tapi agak berbeda dengan perhelatan biennale di Singapore Biennale (Singapura) dan Bangkok Art Biennale (Thailand). Mereka punya gairah tinggi mengikuti jejak pameran seni rupa internasional dengan kemasan Barat,” tambah Tomi yang mencoba menyimpulkan hasil akhir penelitian, sekaligus bentuk presentasinya.
Sekitar pukul 01.00 WIB sambil menghadap gadget untuk membuat rekaman diri. Bersama peneliti lain, Tomi dan Arlingga menjelaskan secara singkat hasil penemuannya.
Seusai menyimak penerangan tim peneliti, saya mesti berangkat ke Jogja National Museum. Kerja seni butuh istirahat, tapi sepertinya tidak hari ini.