Satu per satu mahasiswa dari Program Kampus Merdeka Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, memasuki gedung pameran. Antusiasme mereka sangat terlihat, ketika exhibition guide menjelaskan setiap karya-karya di Jogja National Museum dalam gelaran Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Beberapa kali pertanyaan dilontarkan. Entah hanya tentang bahan yang digunakan untuk karya atau tentang konsepnya.
“Ini tentang kekerasan seksual, Kak?” tanya seorang mahasiswa, ketika melihat salah satu karya instalasi dari Udeido Collective. Ia tampak termangu ketika melihat instalasi berupa alat kelamin berbentuk peluru yang menembus pakaian dalam perempuan.
“Iya, betul. Kita sebenarnya tidak tahu, kan, bagaimana keadaan yang sebenarnya terjadi di Papua sana. Dan di sini mereka juga ingin menunjukkan kekerasan yang terjadi pada perempuan di sana,” jawab salah seorang yang menjadi exhibition guide.
Para mahasiswa itu memiliki berbagai latar belakang yang beragam. Bahkan dapat dikatakan mereka sangat awam dalam kesenian kontemporer. Sebagian besar mahasiswa yang mengikuti program ini berasal dari luar Pulau Jawa. Harapannya, setelah program kunjungan ini, wawasan mereka mengenai seni, terutama yang ada di Jogja dapat lebih terbuka.
Seorang pria berbaju kuning, tampak mencolok di antara para mahasiswa. Ia beberapa kali mengarahkan mahasiswa untuk tetap mengikuti alur kunjungan di setiap bilik karya. Ia adalah Martino Dwi Nugroho, dosen pembimbing dari mata kuliah Seni Nusantara yang mendampingi mahasiswa dari program kampus merdeka ISI. Bersama dengan Rimaya, mahasiswa Desain Interior sebagai liaison officer (LO).
“Jika tentang seni rupa, boleh saya katakan mereka awam. Karena kalau di daerah kan, yang dikenalkan dan muncul itu seni pertunjukannya,” jelas Martino di sela-sela kunjungannya di Biennale Jogja pada Selasa (09/11) siang.
Sebagai salah satu barometer seni rupa di Indonesia, menjadi alasan utama terpilihnya Biennale Jogja sebagai destinasi kunjungan. Karya seni yang tidak hanya berpusat pada satu objek saja, memberikan pembelajaran baru bagi para mahasiswa yang menghadiri program ini.
“Saya melihat mereka ini baru kali ini disuguhi seni rupa yang berbentuk abstrak. Dan ini juga merupakan pengalaman baru bagi mereka,” lanjut Martino.
Menurut Martino, ia memaklumi ketidaktahuan para mahasiswa tentang bentuk-bentuk kesenian yang baru mereka temui kali ini. Karena itu, ia memberikan wejangan kepada para mahasiswa untuk membaca caption dari karya, dan melihat konsep seni yang digunakan.
Seni rupa menjadi tidak populer di daerah-daerah kecil. Sehingga setelah kembali ke daerah masing-masing, para mahasiswa bisa membawa energi kesenian yang mereka pelajari di sini. Dan mengembangkannya sesuai dengan kebudayaan daerah masing-masing.
Salah satunya adalah Muhammad Zaenal, mahasiswa yang berasal dari Sastra Daerah Bugis Makassar Universitas Hasanuddin Makassar. Sebelumnya, Zaenal hanya terlibat sebatas mengikuti sanggar tari saja. Pengalaman berkunjung ke Biennale Jogja pun merupakan yang pertama persentuhannya dengan seni rupa.
“Kesan pertama saat masuk itu luar biasa, sih. Karya yang berhubungan dengan Papua dan daerah Timur sangat membuat saya berkesan. Karena bisa memperlihatkan kondisi Papua di sana seperti apa,” ungkap Zaenal.