Fashion, pakaian, dan busana/baju telah menjadi fenomena kultural ketika ketiganya menunjukkan praktik-praktik penandaan. Fashion dan pakaian secara simbolis mengikat satu komunitas. Kesepakatan sosial yang ditunjukkan dari hal ini, atas apa yang akan dikenakan merupakan ikatan sosial itu sendiri, yang pada akhirnya akan memperkuat ikatan sosial.
Pakaian pun menjadi sebuah alat untuk mengkomunikasikan keanggotaan satu kelompok kultural baik kepada orang-orang yang menjadi anggota kelompok tersebut maupun bukan. Pada tahap ini, kita dapat melihat bahwa pakaian tidak hanya sekedar menunjukkan estetika. Melainkan menunjukkan sebuah identitas dari penggunanya.
Mella Jaarsma Berpose di Depan Karyanya
Mella Jaarsma dan Agus Ongge berkolaborasi melalui material kulit kayu yang biasa dijadikan material pakaian oleh beberapa suku di Papua. Semasa orde baru pemerintah pernah menggelar Operasi Koteka pada 1971-1972, dengan tujuan untuk menghapuskan penggunaan koteka di kalangan masyarakat Papua dan menggantikannya dengan celana dan baju yang dianggap lebih “modern”.
Represi dengan dalih modernitas semacam ini banyak menghilangkan pengetahuan tempatan, termasuk tentang pengolahan dan desain atas kulit kayu sebagai bagian dari budaya material.
Gaya hidup dan tren pakaian masyarakat Indonesia tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi dan transformasi kapitalisme konsumsi. Fashion dan pakaian tidak hanya identik sebagai tren semata. Seiring berjalannya waktu pakaian digunakan untuk merefleksikan, meneguhkan, menyembunyikan, atau membangun suasana hati.
Padahal pakaian yang menjadi perlindungan, kamuflase, kesopanan, dan ketidaksopanan, semuanya mengkomunikasikan suatu posisi dalam suatu tatanan sosial dan kultural, baik pada anggota tatanan itu maupun yang berada di luar tatanan itu. Ketika alat komunikasi dan identitas diri suatu kelompok terancam dihilangkan, tak dapat dipungkiri bahwa tatanan sosial yang dibangun akan terganggu, identitas yang melekat akan menghilang.
Terkadang kedudukan dan peran perempuan yang ikut terlibat di ranah domestik dan juga ranah publik, tidak mendapatkan perhatian di masyarakat, karena tidak adanya kesetaraan gender.
Lewat ketiga seniman perempuan yang berpartisipasi dalam pagelaran Biennale Jogja XVI Equator #6, kita dapat melihat perempuan mampu menembus batas akal dan ego manusia. Perempuan mampu menjadi pilar dalam berbagai aspek. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang berhak memiliki kesetaraan, yang terlibat dalam aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, bahkan pemerintahan.