Berdiri empat orang. Dua lelaki, dua perempuan. Nampak sedang dipakaikan kepada mereka setelan pakaian dari kulit kayu oleh perempuan tegap berambut putih. Itulah Mella Jaarsma, seniman instalasi kostum kompleks, yang sedang menyiapkan aktivasi karyanya pada Rabu (6/10) sore.
Bertajuk “Pertama Ada Hitam”, Mella hendak menyampaikan lewat karyanya bahwa ekspresi seni tidak boleh direpresi. Konteksnya, sebagaimana yang juga tercantum pada deskripsi karyanya, bahwa rezim Orde Baru pernah melarang koteka sebagai pakaian adat. Hal ini dilakukan lewat “Operasi Koteka” pada 1971-1972.
“Sebenarnya jauh sebelum itu, mulai pada 1928, kegiatan misionaris sudah melakukan represi tersebut,” tutur Mella. Para pemuda yang mau mendapat akses pendidikan lewat institusi gereja mesti berpakaian tertutup. Oleh karenanya, lanjut Mella, koteka dan berbagai pakaian adat berbahan kulit kayu mulai ditinggalkan.
Pada pengerjaan karyanya ini, Mella berkolaborasi dengan Agustinus Ongge yang notabene merupakan seniman kulit kayu asal Sentani. Berkomunikasi via telepon, keduanya dalam waktu tiga bulan berhasil menyelesaikan proyek “Pertama Ada Hitam”.
Agus, panggilan Agustinus Ongge, menggarap pakaian dari kulit pohon Khombow dan berhias motif endemik Sentani. “Bagi orang Sentani, estetika bukanlah soal kreasi baru melainkan perihal merawat tradisi,” jelas Mella.
Sebagai contoh, dia menceritakan tentang motif hiu gergaji. Meskipun sudah punah dari Danau Sentani tempat Agus tinggal, namun memori tersebut direkam dalam tradisi kesenian.
Mella juga menyampaikan soal pesan protes yang dikandung karyanya. “Selama ini, kesenian terdefinisikan oleh Jawa. Namun lewat karya ini, kita tahu bahwa di mana pun, termasuk di Papua, orang pun bisa dan perlu berkesenian,” kata Mella.
Protes atas sejarah seni yang sentralistik tidak hanya terwujud dalam estetikanya. Begitulah yang disampaikan oleh Agung, pengunjung sekaligus dosen Seni Rupa di ITB. Dia menilai, pesan desentralisasi kesenian juga terlihat pada metode penggarapan karyanya.
Agung beranggapan, keputusan Mella untuk menggarap karyanya bersama seniman lokal Papua berhasil segendang sepenarian dengan misi Biennale Jogja XVI. “Melihat oseania harus dilakukan bersama subjek oseania pula yang dalam hal ini terwakili oleh Agus dari Sentani,” tukas Agung.
Aktivasi karya berakhir. Sisa dua orang yang berdiri sebab dua lainnya tumbang kelelahan. Peraga boleh tumbang, namun pesan protes atas eksklusi seni dari Mella tetap berdiri pada pakaian-pakaian kulit kayu “Pertama Ada Hitam”.