Komunitas Kahe Maumere bersama Senat Mahasiswa STFK Ledalero terlibat dalam penyelenggaraan pameran bertajuk Re-Imagine Bikon Blewut (R-IBB). Menjadi bagian dari Docking Program Biennale Jogja XVI Equator #6, pameran ini digelar di museum Bikon Blewut yang terletak di lingkungan Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero. Berlangsung dari 18 hingga 24 September 2021, R-IBB berhasil menyedot perhatian publik. Dukungan dan apresiasi datang dari sejumlah akademisi, pegiat seni, tokoh adat, dan masyarakat sekitar kota Maumere.
Museum Bikon Blewut adalah sebuah situs budaya yang memuat koleksi fosil dan artefak manusia purba. Keberadaan museum ini sulit dilepas-pisahkan dari peran para misionaris Societas Verbi Divini (SVD). Misionaris yang menjadi mastermind dibalik pendirian museum ini adalah P. Theodor Verhoeven, SVD dan P. Piet Petu, SVD.
Verhoeven, SVD adalah misionaris berkebangsaan Belanda yang diutus oleh Generalat Roma pada 1949. Ia menetap di Seminari Mataloko dan ditugaskan mengajar bahasa Latin. Tugas tersebut dipilih karena sesuai dengan minat dan kecintaannya pada dunia linguistik, terkhusus bahasa-bahasa klasik.
Meski demikian, ia terbuka untuk mempelajari sejarah dan kebudayaan masyarakat setempat. Keterbukaan sikap tersebut mendorongnya untuk melakukan penelitian secara serius dan sistematik pada sejumlah wilayah di Ngada dan Manggarai.
Ia tidak sendirian. Bersamanya diutus pula muridnya di Seminari Mataloko, P. Piet Petu, SVD. Keduanya terlibat dalam ekskavasi fosil paleolithicum (batu tua), mesolithicum (batu tengah) dan neolithicum (batu muda) di sejumlah wilayah pulau Flores.
Susunan batu di ruang pamer R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Ekskavasi itu menghasilkan sejumlah temuan menarik, serempak menggemparkan dunia arkeologi. Seluruh penemuan awalnya disimpan di ruang kelas Seminari Mataloko pada 1965. lalu dipindahkan ke Seminari Tinggi St. Paulus Ledalero setelah P. Verhoeven kembali ke Belanda pada 1983. Di Ledalero, seluruh fosil dan artefak sejarah disimpan di sebuah ruangan khusus yang kelak diberi nama Bikon Blewut.
P. Piet mengharapkan agar museum Bikon Blewut dapat menjadi penopang tradisi yang sudah miring (bikon) dan lapuk (blewut). Dengan pendekatan etnografi yang kuat, ia menerjemahkan konteks dan makna dari artefak-artefak yang ditemukan ke dalam tata ruang pamer, dan membangun alur dramaturgi berdasarkan tema yang terus diperbaharui dalam jangka waktu tertentu.
Susunan batu di ruang pamer R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Kerja kuratorial P. Piet, secara tegas ingin membangun museum Bikon Blewut sebagai contact zone. Ia ingin meretas pola-pola representasi yang kerap ditemui di museum-museum luar negeri yang dalam banyak kasus jatuh pada saintisme di satu kutub dan eksotisme di kutub yang lain. Sementara bagi P. Piet, museum haruslah sinkronis sekaligus diakronis, universal sekaligus spesifik.
Museum wajib merepresentasikan konteks khas dari artefak-artefak yang tidak datang dari kevakuman budaya, sekaligus membangun wacana dan nilai-nilai universal. Museum harus merawat nilai-nilai tradisional, lokal, dan kontekstual dari suatu entitas budaya sekaligus terus-menerus menjadikan unsur-unsur budaya tersebut relevan bagi masyarakat dan terutama lingkungan dekatnya.
Pertanyaannya, bagaimana keberadaan museum Bikon Blewut saat ini? Apa alasan diselenggarakannya pameran Re-Imagine Bikon Blewut?