Ide pameran bertajuk R-IBB lahir dari kegelisahan sekelompok anak muda di Komunitas Kahe terhadap keberadaan Museum Bikon Blewut. Museum yang kini tanpa penghuni, penuh rayap dan serangga yang bergelantungan.
Setelah P. Piet wafat pada 24 November 2001, visi Bikon Blewut kian pudar dan buram. Keterlibatan publik dalam mengapresiasi dan meresepsi pengetahuan yang diproduksi olehnya sangat minim.
Hampir tidak ada program publik yang diselenggarakan secara sengaja oleh museum dan melibatkan masyarakat, termasuk di dalamnya hal-hal elementer seperti tur sekolah (study tour), pameran koleksi, atau diskusi publik yang dulu secara berkala dibuat oleh P. Piet. Pengunjung organik yang secara serius berniat datang dan mempelajari koleksi Museum Bikon Blewut pun dapat dihitung dengan jari.
Salah satu sudut di ruang pamer R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Belum lagi, pengelolaan museum yang secara display, dramaturgi, kurasi, dan perawatan koleksi yang boleh dibilang jauh dari kata profesional, kerap menjadi perhatian banyak pengunjung. Melihat catatan-catatan itu, tanpa perlu menimbang artefak di dalamnya, Museum Bikon Blewut adalah artefak dalam dirinya sendiri, yang kaku, mati, serta tak lagi kontekstual dan relevan.1Catatan ini berasal dari artikel Eka Putra Nggalu berjudul “Membayangkan Kembali Bikon Blewut”. Artikel tersebut dibawakan saat seminar pembuka R-IBB pada Sabtu, 18 September 2021.
R-IBB sekurang-kurangnya membawa tiga tahapan. Pertama mengusahakan diseminasi pengetahuan soal Bikon Blewut dan seluruh konteks (gereja, budaya, tradisi) yang mungkin hadir di museum tersebut, termasuk seluruh dialektikanya dengan isu-isu yang relevan di masa kini. Diseminasi pengetahuan dibuat dengan memperkenalkan tokoh-tokoh pendiri museum Bikon Blewut, serta intervensi gereja terhadap isu etnologi dan kebudayaan lokal.
Para pengunjung R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Kedua, re-branding Bikon Blewut sebagai situs wisata budaya, termasuk di dalamnya penataan manajemen pameran, strategi publikasi, dan dokumentasi. Re-branding menjadi sangat penting mengingat Museum Bikon Blewut merupakan situs kolektif peninggalan sejarah dan arsip misi gereja di Flores.
Ketiga, dalam kerangka estetika mengusulkan adanya dekonstruksi konsep galeri. Salah satunya dengan cara menggalang intervensi dari seniman rupa di sekitar Maumere untuk merespons ruangan, narasi sejarah, dan koleksi-koleksi dalam museum ini.
Dalam penyelenggaraanya, R-IBB menghadirkan tur dan literasi pameran seni rupa, seminar, pemutaran dan diskusi film, bincang proses kreatif, dan beragam pertunjukan seni. Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan untuk memperdalam pemahaman tentang sejarah dan meningkatkan rasa estetis tentang tata kelola pameran.