R-IBB adalah sebuah pertunjukan sejarah yang hidup. Para pengunjung dapat menyaksikan peran para misionaris dalam menyebarluaskan misi Gereja.
Para misionaris mewartakan Injil dan terlibat dalam dialektika yang intens dengan kebudayaan lokal. Persentuhan dengan budaya lokal memantik rasa ingin tahu mereka untuk menjejaki tapak-tapak sejarah yang tersembunyi. Mereka terlibat dalam proses ekskavasi dan usaha mengumpulkan fosil dan artefak sejarah masyarakat purba.
Usaha itu serempak menunjukkan sikap inklusivitas gereja terhadap keberadaan budaya lokal. Gereja memandang budaya lokal sebagai khazanah yang perlu dirawat guna membentuk identitas kultural pribadi masyarakat. Persentuhan dengan kebudayaan lokal, tak ayal berdampak positif bagi penyebarluasan misi gereja. Injil mulai dikenal. Banyak orang mulai mengakui keberadaan Agama Katolik.
Sampai pada titik ini, kita dapat mengatakan bahwa R-IBB adalah sebuah cermin hidup. R-IBB menyajikan refleksi atas hidup dalam tiga babak yang berbeda, tetapi sekaligus berkelindan dan terkait satu sama lain.
Pengunjung mengamati susunan batu di ruang pamer R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Pertama, refleksi atas hidup masa lalu. Misi gereja di tengah masyarakat lokal adalah sebuah keterlibatan total. Para misionaris membuka diri, belajar, dan hidup bersama masyarakat. Intervensi para misionaris memberi dampak besar bagi pertumbuhan iman, pemeliharaan warisan budaya, peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan masyarakat. Karakter misi tersebut dapat menjadi kritik dan pembelajaran bagi misi zaman sekarang yang cenderung statis dan instan.
Kedua, refleksi atas hidup masa kini. Refleksi atas hidup masa lampau selalu membawa pengaruh terhadap model kehidupan masa kini. Di tengah menguatnya term modernisme, gereja dituntut untuk belajar dari karakter misi para misionaris zaman dahulu. Pertanyaannya, bagaimana misi gereja saat ini? Apakah gereja masih membuka diri terhadap khazanah budaya lokal? Sejauh mana intervensi gereja dengan isu-isu seputar kebudayaan?
Para pengunjung mendapat penjelasan karya di R-IBB (Foto: Bernard Lazar/Dok. Komunitas KAHE)
Ketiga, refleksi atas hidup di masa mendatang. Refleksi atas hidup masa lalu dan masa sekarang mempunyai bias untuk kehidupan di masa mendatang. Bagaimana membagun gereja di masa mendatang? Bertolak dari masa lalu dan kini, gereja perlu menyusun strategi misi yang lebih kontekstual. Usaha kontekstualisasi ini dapat dibangun dengan dialog dan kerja sama untuk merawat tradisi lokal sehingga terbentuk nilai-nilai bersama.
***
Dari seluruh rangkaian penyelenggaran, pameran R-IBB dapat menjadi peluang bagi peningkatan wawasan masyarakat tentang sejarah, khususnya untuk mengenal dan mempelajari model misi yang dilakukan misionaris zaman dahulu. Selain itu, diharapkan masyarakat dapat membangun penghargaan terhadap nilai-nilai budaya lokal.
Terkait hal itu, maka diperlukan kerja sama dari semua pihak untuk membangkitkan kembali ruh Bikon Blewut. Komunitas SVD Ledalero sebagai tuan rumah dituntut memikul tanggung jawab ini. Di antaranya dapat bekerja sama dengan Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, Dinas Purbakala dan semua pihak yang memiliki andil untuk mengatur keberadaan museum.
Dengan cara demikian, Museum Bikon Blewut akan menjadi situs budaya yang berperan mendiseminasi warisan sejarah masa lalu. Elok dipandang sekaligus menarik untuk dipelajari.