“Di hadapan novel kita bermain politik ingatan,” ujar Bandung Mawardi (Bilik Literasi) sambil menunjukkan novel karya Romo Mangun, Ikan-ikan Hiu, Ido, dan Homa.
Ia menegaskan bahwa karya sastra tersebut mengukuhkan kembali sejarah air yang dikalahkan oleh sejarah daratan. Ia berujar bahwa novel berlatar Timur itu dapat digunakan untuk membaca peta perairan kita.
Selain itu, Kabut, sapaan akrab Bandung Mawardi, juga menyandingkan novel tersebut dengan disiplin ilmu lain. Romo Mangun menandai banyak hal yang bertaut dengan sejarah maritim, sejarah bahari.
“Novel ini tidak menganjurkan gagasan-gagasan yang selalu berpikiran bahwa rute rempah itu berkaitan dengan pariwisata, seperti yang saat ini dilakukan pemerintah dan banyak komunitas,” tandas Kabut pada acara yang bertajuk Guna Citra: Lanskap Pemikiran Romo Mangun di Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW) pada Selasa (26/10).
Ia mengatakan itu sambil bersila di halaman berlatar kolam air mancur. Dalam balutan hem flanel merah bergaris hitam yang terlihat aneh dipadukan dengan celana training, Kabut memaparkan pemikirannya yang sempat tertunda oleh listrik yang padam.
Acara yang semestinya dimulai pukul 13.00 WIB di ruang H-1-1 Gedung Didaktos UKDW itu pun akhirnya dialihkan ke luar ruangan. Meski tidak digelar di tempat berbeda, kegiatan ini merupakan aktivasi dari Ruang Y.B. Mangunwijaya di Biennale Jogja XVI Equator #6 2021, yang terwujud atas dukungan dari Laboratorium Sejarah, Teori, Kajian Teknologi dan Desain FAD UKDW, Bilik Literasi, Penerbit Hatopma, Yayasan Dinamika Edukasi Dasar dan Pusat Dokumentasi Arsitektur (PDA) dan Balai Pelestarian Nilai Budaya D.I. Yogyakarta.
Di hall outdoor Gedung Didaktos, satu per satu narasumber lain, yakni Muhidin M. Dahlan (Radio Buku), Mahatmanto (FAD UKDW), dan Sri Wahyaningsih (Sekolah Anak Alam) sebagai penanggap, menjelaskan pandangan mereka terhadap sosok dan pemikiran Romo Mangun.
Tidak sedikit hal menarik muncul sepanjang jalannya diskusi, seperti Muhidin yang menerangkan tentang pemikiran politik-kebudayaan Romo Mangun. Ia mengungkapkan bagaimana keistimewaan angkatan tahun 26, 28, 45 di mata Romo Mangun. Dilihat dari beberapa buku, catatan, dan wawancara.
Sedangkan Sri Wahyuningsih melihat Romo Mangun sebagai sosok yang penuh pandangan manusiawi. “Semua karyanya (Romo Mangun) harus berciri khas kemanusiaan. Baik Sastra, maupun desain-desain Arsitektur. Terlihat di sana Romo mangun ingin memanusiakan manusia.”
Menuju sesi terakhir diskusi, turut hadir juga Romo Edi selaku tamu undangan. Ia memaparkan pandangannya melihat fenomena sastra Romo Mangun.
“Bahasa Romo Mangun yang memiliki banyak anak kalimat dan terkadang menabrak aturan baku. Sedikit banyak menunjukkan Romo Mangun yang mengalir, imajinasinya mengalir. Itu ekspresi manusia dalam bentuk sastra.”