“Cheer up!”
Berhias gambar warna warni, sepenggal kalimat sederhana ini terlihat dari ujung kartu pos. Pesan yang ditujukan bagi anak-anak di pengungsian Kalideres ini, terkesan naif. Tanpa dosa. Tetapi, tulus di waktu yang sama.
Diikuti peserta dari berbagai usia, Jalin Sahabat #8 merupakan lokakarya membuat kartu pos untuk anak-anak. Diadakan pada hari Ahad (24/10), dibagi dua sesi, pukul 13.00 dan 15.00 WIB di samping panggung utama Jogja National Museum (JNM). Kegiatan ini merupakan bagian dari program Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Kegiatan dimulai dengan mengajak peserta ke dalam ruang instalasi A Pond is the Reverse of an Island di lantai 1. Di sana, ada dinding bertempelkan kartu pos buatan anak-anak di pengungsian Kalideres, Jakarta Barat.
“Life is the flower, for which love is the honey.”
Tulisan dan gambar bunga di sampingnya, begitu penuh kepolosan. Setiap goresan seolah menyimpan harapan di tengah nasib mereka yang tak kunjung menentu.
Anang Saptoto, anggota A Pond is the Reverse of an Island, menjelaskan, kartu-kartu pos yang ada di dinding itu ditujukan bagi sesuatu yang abstrak. Misalnya, mengirim pesan ke udara atau mengirim harapan ke bintang.
“Awalnya aku berpikir, ke manakah kartu pos buatan anak-anak di pengungsian ini harus dikirim? Jokowi? Anies Baswedan? Lalu, aku usul, bagaimana jika dikirim ke sesuatu yang abstrak. Kan, itu lebih puitis,” ujar Anang, menjelaskan kartu pos yang ditempel di dinding.
Seusai mengamati kartu-kartu pos itu, para peserta lokakarya kembali ke samping panggung JNM. Mereka akan membalas kartu pos dari para anak-anak pengungsi. Lima peserta lokakarya, seumuran taman kanak-kanak dan sekolah dasar, tampak antusias mengikuti lokakarya.
Krayon dan pensil warna berserakan. Didampingi orangtua, mereka mulai menggambar dan menulis pesan.
“Lokakarya ini menjadi satu pintu masuk untuk mereka (anak-anak) bersuara, mengeluarkan pendapat, dan merepresentasikan pemikiran dengan metode gambar dan tulisan,” jelas Anang ketika berbicara soal tujuan lokakarya ini.
Anang kemudian bercerita, bahwa lokakarya ini berawal dari kebutuhan intangible pengungsi, sebut saja: psikologis, pengetahuan, dan pendidikan. Berangkat dari sana, ia menggunakan metode kartu pos buatan sendiri—proyek yang memang ditekuninya—untuk memenuhi kebutuhan itu.
Ia menyasar anak-anak sebagai kelompok rentan di dalam populasi pengungsi. Menurut Anang, anak-anak selama ini dianggap harus selalu manut dengan keputusan orang dewasa. Padahal, mereka harus memiliki kebebasan berekspresi dan berpendapat.