Bagaimana seni membawa wacana feminisme ke ruang publik? Pertanyaan itulah yang mungkin akan dijawab melalui agenda Tour Feminis Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Dipandu oleh Aprilia Wayar, divisi Gender AJI Yogyakarta, dan Alia Swastika, tour ini membawa peserta untuk melihat karya-karya yang membawa aspirasi feminisme.
Acara dilaksanakan pada Jumat, 5 November 2021 dengan titik kumpul di Jogja National Museum (JNM) pukul 14.00 WIB. Selain JNM, peserta juga akan diajak berkeliling ke dua venue lain yang menjadi rangkaian pameran Biennale, yakni pameran Bilik Korea di Museum dan Tanah Liat (MDTL) dan Indie Arthouse.
“Koreri Projection”, karya Udeido Collective menjadi yang pertama dijelaskan oleh Aprilia, terkait muatan politis dan budayanya, serta dampak kekerasan militer di tanah Papua terhadap kaum perempuan.
Ia menerangkan tentang salah satu karya instalasi berbentuk penis berkepala pelor di dalam ruangan.
“Sedikit pesan yang saya tangkap dari karya Betty (salah satu seniman Udeido). Terlalu banyak perempuan yang berkorban. Mereka melahirkan anak-anak lahir untuk mati di hadapan peluru,” terang Aprilia. Lebih jauh ia mengatakan aksi-aksi militer itu jadi pendukung pengerukan tanah Papua, yang secara luar biasa mengeksploitasi sumber daya alamnya.
Dari lantai bawah, kemudian rombongan naik ke lantai dua dan berhenti di “Herstory: if Knowledge is Power” karya Salima Hakim.
Karya Salima tersusun atas lembar-lembar kain yang digantung. Terdapat gambar evolusi manusia yang diilustrasikan dengan figur perempuan, berbeda dari yang umum kita dapati dari figur laki-laki. Di samping itu, juga disertakan potongan-potongan teks yang mengetengahkan keberadaan manusia dari awal berunsur perempuan.
Untuk menunjukkan kesan feminim, seluruh karya tersebut dibuat dengan teknik sulam. “Dia melihat perspektif, nenek moyang manusia itu tidak hanya laki-laki tapi juga perempuan. Perempuan sebagai origin of the species,” kata Alia kepada para peserta Tour Feminis.
Terdapat tujuh karya seniman pameran utama yang diulas kunjungan kali ini: Udeido, Lakoat.Kujawas, Ika Arista, Salima Hakim, Mother Bank, Maria Madeira, dan Mella Jaarsma x Agus Ongge.
Setelah selesai di pameran utama, selanjutnya rombongan menuju ke pameran Bilik Korea di MDTL. Listrik yang padam dan hujan sempat mengganggu jalannya kegiatan. Namun begitu, Tour tetap berlangsung. Secara inisiatif para pengunjung menyalakan flashlight untuk membantu pencahayaan.
Dengan padat Alia Swastika, yang juga merupakan kurator Pameran Bilik, menjelaskan konteks gender dalam bingkai “Hacking Domesticity”.
Dalam kunjungan itu, hadir pula Naomi Srikandi. Kepadanya Alia meminta pendapat mengenai karya Fitri DK, salah satu anggota Taring Padi, yang terpampang di bagian depan galeri.
“Fitri DK, tidak melihat kerja seni berbeda dengan aktivisme. Itu juga kenapa Fitri sejak awal tertarik pada feminisme,” ungkap Naomi di depan karya “Nyawiji Kanggo Ibu Bumi”.
Karya Fitri itu menyoroti tentang perjuangan kaum ibu di pegunungan Kendeng dalam menentang pertambangan semen.
“Karya ini menggambarkan perempuan sebagai sentral kehidupan. Juga terlihat di sini, Fitri mampu menempatkan karyanya secara politis, ya,” tambah Alia di muka karya series “Mantra Ibu Bumi”, cetak cukil Fitri yang secara simbolik menggambarkan pesan kosmik tentang perempuan.
Selesai dari MDTL kunjungan yang mestinya berlanjut ke Indie Arthouse ditiadakan sebab matahari telah tenggelam. Hujan menutup tour feminisme dan mengantar kami pulang ke perjalanan masing-masing.