Beberapa penduduk desa ditanyai, bagaimana pendapatmu soal UFO? Ada yang girang, beberapa lagi sinis. Demikian cuplikan film pendek Village’s Bid for UFO karya Takuro Kotaka. Sineas asal Jepang ini menjadi salah satu narasumber dalam Forum Diskusi Publik #10: Bersiasat dengan Muslihat, yang diadakan oleh Biennale Jogja XVI Equator #6 2021.
Takuro berduet dengan Armin Septiexan, perwakilan Sekolah Multimedia untuk Semua (SkolMus) yang notabene salah satu peserta Program Labuhan Biennale Jogja XVI, sebagai narasumber. Diskusi yang digelar daring via Live YouTube pada Selasa (9/11) sore ini dipandu oleh Putri R.A.E. Habibie.
“Village’s Bid for UFO adalah metafora pembangunan reaktor nuklir di Prefektur Ishikawa,” ungkap Takuro. Film yang bergenre mockumentary (dokumenter-komedi) ini sarat akan muatan kritik politik, seperti karyanya yang sudah-sudah.
Namun, dirinya mengakui bahwa ada ketakutan tersendiri saat mengungkap isu-isu sensitif ke publik. Terlebih, di Jepang, isu reaktor nuklir tabu untuk dikritisi.
Takuro juga mengungkap, Village’s Bid for UFO belum pernah ditayangkan di Jepang. “Justru, film ini tayang perdana di Festival Film Dokumenter 2017 di Yogyakarta,” ujarnya.
Demikian pula SkolMus. Mengangkat isu buruh migran pada kasus anak tinggal (saudara dari desa yang diboyong ke kota untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga). “Fenomena ini nyata, tapi cerita mereka ditutup rapat,” tuturnya.
Lewat Bilik Migran, instalasi seni berupa pertunjukan teater topeng dan tayangan film, SkolMus membuka tutup itu. Secara sengaja, instalasi dihadirkan di Pantai Warna untuk menarik atensi. “Penempatan ini sebagai kritik bahwa ada kontradiksi. Pemerintah menghias pantai namun luput terhadap nasib manusia (anak tinggal),” keluhnya.
Tak hanya mengkritik, SkolMus pun tetap empatik. Hal ini ditunjukkannya lewat instalasi seni yang mengedepankan kepentingan subjek, yakni para anak tinggal. Armin memaparkan, pertunjukan teater topeng itu menyampaikan pesan bahwa identitas pribadi para anak tinggal tidak perlu diketahui.
“Berbahaya bagi mereka bila terungkap identitasnya. Para majikan kebanyakan adalah tokoh masyarakat yang suatu saat bisa merenggut penghidupan mereka,” ujar Armin. Penggunaan suara samar narator alih-alih rekaman asli dari narasumber anak tinggal pun tidak lepas dari alasan yang sama.
Toh, kata Armin, yang terpenting dari kritik sosial adalah perspektif isunya mampu diindra dan dipahami oleh publik. Rakyat Kupang paham penderitaan anak tinggal. Pemerintah Jepang bisa peka atas dampak reaktor nuklir pada rakyat Ishikawa.