UDEIDO COLLECTIVE DALAM BJ XVI EQUATOR #6 2021
Sebagai refleksi atas gagasan keterkaitan berbagai budaya oseania, termasuk konteks kolonialisme dan dan pasca-kolonial yang menjadi salah satu fokus bingkai kuratorial BJ XVI, Collective Udeido dalam kerjanya kali ini mengangkat beberapa kearifan lokal serta konsep-konsep tradisi yang dipakai oleh nenek moyang orang Papua. Secara umum karya Collective Udeido mengambil konsep tentang ruang arwah. Dalam kepercayaan setempat, ruang ini adalah sebuah tempat di mana orang Papua percaya bahwa setelah mati mereka akan pergi dan menetap di sana. Ruang arwah dapat berbentuk ruang imajiner yang berupa konseptual dan pada beberapa suku menjadi ruang yang faktual. Ruang arwah ini dapat ditemukan di hutan, sebuah pulau, gunung-gunung besar, gua, dan lainnya.
“Kenyataannya saat ini ruang-ruang ini mengalami ancaman, seperti misalnya pembalakan hutan, penebangan liar dan pembangunan yang secara masif dan agresif,” ungkap Ignatius Dicky Takndare, salah satu anggota dan pendiri Udeido yang berbasis di Yogyakarta. Dicky telah tinggal untuk belajar dan bekerja di Yogyakarta semenjak 2006. Ia lulus dari jurusan seni Lukis Fakultas Seni Murni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Menurut Dicky salah satu tantangan besar yang diberikan tim Biennale Jogja pada Udeido adalah menggarap fasad gedung JNM, sebuah ruang yang tak bisa dibilang kecil. “Pada awalnya kami merasa tidak cukup yakin bisa mengerjakannya, tetapi dengan berbagai dorongan dan dukungan, kami bersama-sama menerima tawaran tersebut. Saya kira hal ini akan menjadi langkah penting, tidak saja untuk kelompok kami, tetapi juga skena seni Indonesia Timur secara lebih luas.”
Pada akhirnya, partisipasi mereka dalam Biennale Jogja XVI ini memberi kesempatan pada mereka untuk mengembangkan sebuah proyek seni jangka panjang yang berkait dengan kompleksitas isu dan konteks problem yang menjadi titik pijak bersama. Projek ini mereka sebut sebagai Koreri Projection, karena di sinilah mereka membangun ruang proyeksi perjalanan fisik dan spiritual, dari puing-puing reruntuhan Tanah Papua yang diobrak-abrik, hingga memasuki keabadian. Karya tersebut merefleksikan bagaimana entitas yang mengalami persoalan di tempat hidupnya di dunia kemudian mentransformasi keberadaannya dengan melakukan perjalanan menuju sebuah surga di mana orang-orang Papua dapat hidup dengan damai, tanpa kekhawatiran, penindasan, dan diskriminasi.
Untuk mempersiapkan karya ini, para anggota yang berada di Jayapura dan kota lain di Papua telah bergabung bersama Dicky dan kawan-kawan di Yogyakarta. Mereka menyewa sebuah rumah yang difungsikan sebagai studio bersama selama enam bulan sehingga seluruh karya dikerjakan secara kolektif di tempat ini. Ketika tim Biennale Jogja mengunjungi studio mereka, tampak persiapan intens sudah berlangsung di studio ini; beberapa lembar kulit pohon yang telah kering dan siap untuk ditimpa menjadi lukisan telah dibentang, sementara di bagian belakang studio, beberapa buah cetakan patung mulai menunjukkan bentuknya. Di halaman samping, yang langsung berhadapan dengan bukit kecil dan pekarangan, beberapa patung yang ukurannya lebih besar sedang dijemur menunggu kering. Hampir tiap hari studio kecil mereka disibukkan oleh para seniman yang mengeksekusi karya, diselingi diskusi di sana-sini tentang gagasan dan situasi Papua diiringi bergelas kopi.
“Kami banyak berdiskusi tentang situasi masa lalu Papua dan perbandingannya dengan hari ini. Ada banyak kasus yang menjadi konteks dari karya-karya kami. Setelah diskusi, kami memilih satu simbol atau metafor visual untuk mewakili situasi hari ini, dan kemudian menempelkannya pada bentuk “totem” yang kami ciptakan, sehingga ada pertemuan antara hari ini dan masa depan sekaligus,” jelas Dicky.
Selain karya bersama, para anggota Collective Udeido akan menampilkan karya individual mereka dengan pendekatan dan medium yang beragam.
Betty Aidli yang merupakan satu-satunya anggota perempuan dalam Udeido mengangkat karya yang berangkat dari konsep dominasi dan kekuasaan yang terjadi di daerah konflik di Papua. Daerah konflik yang ada di Papua seringkali diidentikkan dengan jargon-jargon maskulin yang diekspresikan dengan tidak terkontrol. “Saya melihat konflik ini secara langsung atau tidak langsung menarik kelompok-kelompok rentan, salah satunya perempuan ke dalam lingkaran ini.” ungkap Betty, yang sekarang masih menempuh pendidikannya di Universitas Negeri Yogyakarta.
Sementara Michael Yan Davis membawakan karya dengan konsep berupa kepercayaan suku Biak atas koreri menggunakan media digital. Ia mencoba memvisualisasikan karyanya melalui metoda mind mapping untuk menggambar silang sengkarut beragam persoalan Papua dalam ruang dan waktu yang berbeda. “Saya mencoba mengangkat pergeseran-pergeseran yang membangun relasi dari subjek maupun objek yang terjadi pada ruang masa kini.”
Salah satu anggota Udeido yang berasal dari Fak-Fak, Papua Barat, yaitu Costantinus Raharusun, mencoba mengangkat ruang arwah yang ada di Tanah Baham yang didiami oleh suku Baham, bernama Homour. Tiap marga yang ada di Fak-Fak memiliki Homour yang berbeda-beda. Ada yang terdapat di batu-batu, di pohon, dan di hutan. Adapun kaitannya dengan hutan, Fak-Fak dikenal sebagai sumber pala. Homour saat ini mulai sedikit terancam dengan adanya peraturan-peraturan dari pemerintah. Menurut Constan, begitu ia dipanggil, peraturan-peraturan ini menunjukkan bagaimana pemerintah lebih berpihak pada pembangunan infrastruktur untuk industri ketimbang memikirkan masa depan lingkungan dan kehidupan. Percepatan mulai mengambil lahan-lahan, di mana homour itu berdiam.
Selain itu pala Fak-Fak berkaitan dengan tradisi yang ada di sana. Tradisi ini berkaitan dengan kepercayaan bahwa Pala adalah sosok ibu. Dan tempat di mana ibu itu tinggal mulai terancam juga. Costan pun melihat bahwa relasi sosial antar warga yang ada di Fak-Fak mulai diadu domba dan memicu konflik horizontal. Ketika seorang warga berbicara mengenai problem tanah, maka akan dianggap ‘teroris’.
“Semoga tanah Papua, tanah Fak-Fak, seluruh nusantara, seluruh bumi semakin damai dan tak ada lagi penjajahan,” kira-kira demikianlah harapan seniman Udeido dengan persembahan karya mereka, ketika menutup seri percakapan kami.