Memasuki minggu kedua Biennale Jogja XVI Equator #6 2021. Jika beberapa hari belakang Biennale Forum menghadirkan seniman partisipan, pada Rabu (13/10/), giliran kurator naik panggung dalam program Wicara Kurator.
Kurator Elia Nurvista dan Ayos Purwoaji, serta Putri R.A.E Harbie sebagai asisten kurator, telah siap memaparkan materinya pada pukul 16.00 WIB di stage Jogja National Museum (JNM). Dengan dresscode hitam, diskusi sore itu berlangsung santai, layaknya bincang sore.
“Roots and Routes terinspirasi oleh tulisan James Clifford, yang mana dalam bukunya terdapat bahasan tentang indigenous,” begitu kata Putri sebelum menjelaskan lebih jauh perihal latar belakang terpilihnya Roots and Routes sebagai tajuk utama Biennale Jogja tahun ini.
Dalam buku Returns: Becoming Indigenous in the Twenty-first Century (2013), menurut Putri, dalam bab “Indigenous Articulation” terdapat bahasan mengenai kehidupan masyarakat adat pada abad ke-21. Disebutkan, sekarang ini kita tidak bisa lagi membedakan mana masyarakat asli dan mana masyarakat diaspora. Dan banyak kehidupan di Oceania, yang mana masyarakatnya bersifat nomaden. Mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan membentuk akar baru.
Tema Roots and Routes diambil karena melihat adanya kecocokan dengan karya-karya yang ditampilkan pada Biennale Jogja XVI. Cakupan tema yang meliputi masalah politis, perebutan lahan, modernisasi, hilangnya ruang berekspresi, krisis iklim, dan permasalahan lainnya yang terjadi di masyarakat Oceania.
Ayos sedikit bercerita sebelum memutuskan tema Roots and Routes sebagai tajuk utama. Ketiganya melihat kembali bagaimana pembagian wilayah di wilayah Pasifik setelah tahun 50-an. Lautan Pasifik yang tampak seperti lautan kosong dari peta, memunculkan pertanyaan “Lautan ini milik siapa?”. Bagaimana kemudian berbagai macam bentuk dekolonisasi kembali terjadi pada masyarakat di sekitar Oceania. Kondisi ini membuat mereka kembali mempertanyakan perihal keaslian masyarakat adat yang terusir dan tercerabut dari akarnya.
“Bagaimana terus perpindahan atau mobilitas manusia setelah kolonialisme terjadi, peta ditemukan, alat-alat transportasi ditemukan. Itu yang membuat kami jadi mempertanyakan ulang, tentang apa sih keaslian, apa itu akar? Sementara banyak sekali masyarakat-masyarakat yang berdiaspora,” Ayos menambahkan.
Hingga akhirnya, buku karangan James Clifford itu sangat beresonansi dengan tema. Kemudian dipilihlah Roots and Routes sebagai tema besar untuk membungkus karya-karya yang ada di pameran utama Biennale Jogja XVI.
Berangkat dari tema tersebut, seniman dan komunitas yang berpartisipasi dalam Biennale Jogja kali ini mengangkat isu-isu yang banyak membicarakan tentang lokalitas. Seperti di Ambon yang mengangkat tentang reklamasi atau Papua dengan kebebasan berekspresi. Lalu ada Lakoat dengan hilangnya pengetahuan-pengetahuan lokal yang kemudian diganti dengan mengatasnamakan pembangunan dan modernisasi.
“Isu-isu tersebut bukan muncul secara lokal itu saja. Tapi dia punya keterkaitan dengan berbagai hal lain. Kalau ditanya masih pentingkah? Tentu saja. Tapi kemudian bagaimana supaya isu-isu ini saling beresonansi dan kemudian punya satu semangat solidaritas dan berbuat sesuatu untuk menyikapi hal itu. Apa yang terjadi di Ambon, mungkin saja terjadi di Vanuatu,” tutur Elia.
Pada akhirnya bukan hanya tentang lokalitas yang menjadi sasaran dari Biennale Jogja kali ini. Ayos menyebutkan, ada empat kata kunci yang dirumuskan sejak awal oleh kurator, meliputi desentralisasi, dekolonisasi, internasionalisme, dan situated knowledge.
“Membicarakan lokalitas dalam Biennale ini tidak serta-merta membicarakan lokalitas sebagai eksotisme. Tapi satu respons atas internasionalisasi yang macet,” ungkap Ayos.