Pariwisata, atau yang memiliki kata verba ‘berwisata’, telah menjadi suatu kebutuhan untuk dikonsumsi oleh manusia. Kegiatan berwisata diartikan sebagai perpindahan fisik atau corporeal travel dari suatu wilayah asal menuju wilayah lain dengan tujuan mencari kesenangan (leisure) dan mengonsumsi waktu atau pengalaman.
Keberagaman motivasi dari mobilitas fisik menjadikan pariwisata sebagai fenomena yang kompleks: perpindahan ruang, motivasi dan latar belakang di baliknya, serta pemilihan fasilitas yang didasari kondisi ekonomi maupun preferensi personal. Pariwisata dapat dikategorikan berdasarkan jarak yang ditempuh, yaitu perjalanan wisata domestik dan internasional. Keputusan memilih destinasi wisata dalam kategori ini menarik untuk dikaji melalui perspektif antropologi, psikologi, hingga ekonomi.
Destinasi wisata internasional kerap kali diasosiasikan dengan kemewahan serta kelangkaan kesempatan yang berkaitan dengan kemampuan perekonomian serta kelas sosial. Wisatawan dari kelas sosial menengah ke atas memiliki kesempatan lebih besar untuk melakukan perjalanan internasional: pembelian tiket transportasi, pemesanan akomodasi penginapan, hingga destinasi wisata minat khusus yang dipilih. Contoh dari kondisi ini adalah wisatawan yang memilih penerbangan kelas wahid menuju Perancis, menginap di akomodasi dengan view kemegahan Menara Eiffel, serta berkesempatan mengikuti rangkaian tur di winery tersohor dan mencicipi anggur terbaik sebagai bagian dari wine tourism. Aspek-aspek luxurious tourism seluruhnya terpenuhi melalui contoh tersebut, yaitu perpindahan fisik dari wilayah asal ke wilayah lain guna mengkonsumsi produk pariwisata tangible dan intangible yang sulit, nyaris tidak dapat diakses khalayak umum.
Kemudahan akses informasi dan teknologi yang berkembang memfasilitasi wisatawan untuk memperoleh informasi mengenai destinasi wisata yang tersebar di seluruh dunia: mungkin saja terletak beribu mil jauhnya. Hampir seluruh destinasi wisata unggulan semacam itu selalu memiliki ikon visual yang diburu wisatawan. Ikon-ikon visual ala postcard yang masuk ke dalam daftar ‘wajib dikunjungi’ ini antara lain Patung Merlion di Singapura, Menara Eiffel di Perancis, atau Menara Kembar Petronas di Malaysia. Berbagai cara ditempuh wisatawan untuk mengunjungi dan berpose di depan ikon-ikon wisata ini, sebagai bagian dari social currency yang dapat diceritakan dan ditunjukkan kepada keluarga serta kolega. Dorongan ini dipengaruhi oleh motivasi memperoleh dokumentasi melalui fotografi yang sudah ada sejak generasi sebelumnya. Potret di destinasi wisata yang mewakili suatu negara serta diakui oleh dunia menjadi kebanggaan tersendiri: anggapan bahwa kemampuan ekonomi serta kelas sosial tinggi dimiliki oleh turis tersebut.
Pada situasi yang berseberangan, sebagian wisatawan tidak mampu menjangkau ikon-ikon wisata tersebut, baik disebabkan oleh faktor usia, ketersediaan waktu, hingga kemampuan ekonomi. Keinginan untuk mengunjungi destinasi wisata yang berada di luar jangkauan serta kemampuan wisatawan menjadi suatu dorongan untuk ‘mendekatkan’ destinasi tersebut. Kondisi ini mendorong kemunculan berbagai destinasi wisata tiruan di Indonesia. Tanggapan mendukung maupun mengkritik dapat dijumpai jika dikaitkan dengan isu autentisitas gagasan dari suatu produk, objek, atau destinasi wisata. Autentisitas gagasan yang dimaksud berkaitan dengan rupa dan gagasan yang diusung oleh pengelola, seperti objek berfoto serta penjenamaan (branding) sebuah destinasi. Dampak dari isu ini dijumpai dalam bentuk positif dan negatif, keduanya berimbang dan dinamis seiring dengan pertumbuhan yang dialami seluruh lapisan masyarakat, penggiat sektor pariwisata, serta pemerintah.
Strassler (2010), dalam buku “Refracted Visions: Popular Photography and Modern Nationality in Java”, memaparkan budaya dokumentasi yang dimiliki masyarakat Indonesia sejak era kolonialisme akhir, didorong oleh kemunculan berbagai jasa studio foto di kota-kota di Pulau Jawa. Culture of documentation menjadi frasa yang menggambarkan perspektif masyarakat terhadap fotografi dari masa ke masa. Dokumentasi, atau hasil dari seni fotografi, dianggap sebagai hal mewah yang disimpan sebagai kenangan atau cinderamata. Perkembangan fotografi sampai pada momentum klien dapat meminta pemotretan dengan latar belakang kebudayaan atau lanskap dari negara-negara lain. Contoh dari fenomena ini adalah ketersediaan properti dan latar tempat kebudayaan Tionghoa sebagai penunjang model atau subjek fotografi. Kemudahan memperoleh dokumentasi dengan latar yang sebelumnya jauh dari jangkauan masyarakat menjadi titik balik seni fotografi.
Harau Dream Park di Lembah Harau, Kota Payakumbuh, Sumatera Barat, merupakan salah satu contoh destinasi wisata yang ‘mendekatkan’ ikon-ikon mancanegara bagi wisatawan lokal sekitar destinasi tersebut. Produk wisata yang ditawarkan merupakan replika berukuran lebih kecil dari Menara Eiffel, Big Ben, rumah khas Belanda, dan masih banyak lagi. Tiket masuk seharga Rp 15.000,00 diberlakukan bagi wisatawan yang berjumlah nyaris 4000 pengunjung setiap akhir pekan. Peran masyarakat lokal di balik pembangunan destinasi wisata tiruan ini memiliki dua sisi yang perlu dikaji secara mendalam. Aspek terkait pembangunan yang ada dapat digolongkan sebagai aspek pembangunan wilayah atau lingkungan, resiliensi sosial-budaya, dan dampak terhadap perekonomian lokal.
Foto: Kurniadi Widodo
Analisis mengenai dampak lingkungan dan sosial merupakan aspek yang sering terlupakan dan dianggap remeh pada proses perencanaan pembangunan. Suatu wilayah dianggap potensial ketika dapat dijadikan lahan pembangunan infrastruktur serta sarana-prasarana pendukung suatu destinasi wisata. Aspek resiliensi sosial-budaya kerap hanya diasosiasikan sebagai produk pariwisata. Fenomena ini dijumpai di destinasi wisata yang memiliki nilai sejarah, mitos akademik yang berkembang, serta kebudayaan asli di Indonesia. Dampak perekonomian merupakan aspek yang ditonjolkan dalam setiap proses pembangunan, dibuktikan dengan pendapat Mowforth dan Munt (1998) yang berbunyi, “…economic profitability of the scheme is great enough to cover over the damage, ease the discontent or suppress the protest,”. Kutipan ini menegaskan bahwa dampak sosial-budaya serta lingkungan yang merugikan dapat dimaklumi jika keuntungan perekonomian yang diperoleh sepadan.
Kurniadi Widodo, salah seorang fotografer dokumenter di Yogyakarta, mencoba menangkap gejala perubahan model latar foto studio dan kaitannya dengan pembentukan destinasi wisata artifisial yang belakangan marak terjadi di berbagai tempat di Indonesia. Proyek foto berjudul “Towards New Landscapes” ini dikerjakan sejak tahun 2018 dan terus berlanjut hingga sekarang. Dalam pengantar yang disiapkan untuk Biennale Jogja, Kurniadi menulis bahwa proyek foto ini merunut fenomena yang berkembang di tahun 1970-an. Pada masa itu, pemerintah secara aktif mendukung dan memfasilitasi praktik-praktik fotografi amatir melalui pemberian sponsor pada kompetisi-kompetisi fotografi bertemakan pariwisata. Fotografer yang memenangkan kompetisi akan mendapatkan kompensasi finansial dan afirmasi dari kelompoknya. Sementara itu, pemerintah memperoleh keuntungan dari foto-foto berkualitas yang bisa digunakan untuk pembuatan brosur, buku, ataupun kartu pos sebagai materi promosi pariwisata penghasil devisa. Melalui mekanisme simbiosis ini, dapat dibayangkan bahwa sekelompok pemegang kepentingan dapat membentuk persepsi banyak orang atas lokasi-lokasi pariwisata melalui citra fotografis.1Konsep karya Toward New Landscapes untuk Biennale Jogja XVI 2021 yang ditulis oleh Kurniadi Widodo.
Dalam satu dasawarsa terakhir, integrasi teknologi kamera ke dalam perangkat telepon genggam dan meluasnya penggunaan media sosial berbasis foto menjadi pendorong lahirnya bentuk-bentuk relasi baru antara fotografi dan pariwisata. Hingga pada level yang belum pernah dibayangkan sebelumnya. Konvensi-konvensi lama tentang apa itu obyek wisata dan bagaimana turis memandang atau menyikapinya berubah drastis secara organik, tanpa kendali dari pihak-pihak yang sebelumnya memiliki otoritas.
Foto: Kurniadi Widodo
Destinasi wisata baru saat ini bisa diciptakan, dimodifikasi, hingga direplikasi berulang kali dari ikon-ikon wisata dunia demi memuaskan keinginan pengunjung yang ingin berfoto di depan wahana-wahana yang disediakan dan mengunggahnya ke kanal-kanal media sosial mereka. Fotografi dan media sosial karenanya berpengaruh langsung atas pembentukan kultur baru ini. Kedua aktivitas ini memunculkan irisan dari tren destinasi wisata ikonik, fotografi, dan penggunaan media sosial sebagai sarana pertukaran informasi yang belakangan disebut sebagai ‘spot foto kekinian’. Kemunculan ‘spot foto kekinian’ sebagai objek atau destinasi wisata dapat berasal dari berbagai latar belakang, mulai dari ketersediaan sumber daya, ide-ide yang bermunculan dari masyarakat lokal, dan keuntungan perekonomian yang menjadi dampak jangka panjang. Kritik dan tanggapan terhadap kehadiran objek-objek wisata yang dikomersialisasi sebagai ‘spot foto kekinian’ secara tidak langsung mengedepankan aspek perekonomian sebagai target utama namun meninggalkan aspek autentisitas yang berkaitan dengan kebudayaan.
Dalam sebuah artikelnya di majalah Destinasian, Kurniadi menjelaskan pandangannya terhadap fenomena pertumbuhan destinasi wisata artifisial ini bahwa, “Autentisitas dipandang tak lagi mencukupi, hingga muncul semacam perlombaan untuk menambahkan ornamen artifisial dan efek dramatis.”2Deskripsi karya Vakansi Visual oleh Kurniadi Widodo.
Artikel tersebut melampirkan foto-foto yang ia ambil di Cangkringan dan Harau Dream Park, dua destinasi wisata yang mewakili fenomena ‘spot foto kekinian’. Tingginya angka kunjungan dari Stonehenge Cangkringan dan Harau Dream Park didorong oleh motivasi khalayak untuk mengunjungi ikon-ikon pariwisata internasional tersebut. Tiket masuk yang terbilang murah serta kesempatan untuk memiliki foto “seolah-olah” mengunjungi Stonehenge, Menara Eiffel, Big Ben, dan masih banyak lagi menjadi faktor penarik yang khas. Fenomena ini menjadi perdebatan dalam kaitannya dengan autentisitas destinasi wisata, namun berdampak positif pada perekonomian masyarakat lokal.
Kehadiran destinasi wisata ‘spot foto kekinian’ dengan lanskap ikon-ikon mancanegara menjamur di berbagai wilayah dan menjadi tren alternatif. Pengelola destinasi wisata perlu kembali merefleksikan keputusan-keputusan yang diambil berkaitan dengan seluruh aspek serta menyeimbangkan dampak yang dimiliki dari setiap langkah perencanaan atau pembangunan ‘spot foto kekinian’ sebagai destinasi wisata unggulan. Dampak perekonomian kembali hadir sebagai dampak utama yang ‘membayar lunas’ kerusakan atau cedera pada dampak sosial-budaya dan lingkungan. Implikasi yang diperoleh dari pembuatan ‘spot foto kekinian’ yang tidak orisinil ini bukanlah semata-mata pendapatan, namun lebih dari itu adalah nilai-nilai sosial serta budaya yang dicederai dan dikalahkan merupakan isu penting kaitannya dengan keberlanjutan sektor pariwisata.
Lantas, apakah tren seperti ini akan terus berlanjut atau dapat digantikan dengan imajinasi lokal yang lebih familiar tanpa harus terjebak menjadi eksotis?
Audrey Samantha (20) adalah mahasiswi tahun ketiga program studi S1 Pariwisata di Universitas Gadjah Mada. Audrey memiliki minat pada project management, pariwisata dan isu gender, serta pariwisata budaya. Sebagai magang di Divisi Program Publik, Audrey menemukan banyak topik diskusi menarik dengan kolega terkait karya-karya yang ditampilkan pada Biennale Jogja XVI Equator #6 Indonesia with Oceania.