Bergerak, bergerak…
Satu dua tiga
Bakurima bergerak!
Musik menghentak. Forum Bakurima, pentas Hip-Hop kerjasama Biennale Jogja XVI dengan Hellhouse, berajojing di panggung utama Jogja National Museum (JNM).
Pentas ini adalah bagian dari Penganugerahan Lifetime Achievement Award dan Penutupan Biennale Jogja XVI pada Sabtu (13/11) malam. Mendendangkan lirik, mengajak bergerak.
Ajakan bergerak ini seturut dengan sepatah kata dari atas panggung oleh Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY). Sepuluh tahun gelaran, enam sesi Biennale Jogja Seri Equator dihelat.
Bergerak menyusuri lintas khatulistiwa, ucapnya. India, Jazirah Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara, dan bermuara di lautan Oseania. “Seri Equator ini menawarkan alternatif dari gagasan internasionalisme,” kata Alia.
Sementara itu, Gintani Nur Apresia Swastika menyampaikan laporan singkatnya. “Dari rangkaian Biennale Jogja XVI ini, kami menyimpulkan bahwa seluruh program berjalan dengan baik dan lancar,” katanya.
Direktur Biennale Jogja XVI itu menyebutkan bahwa Seluruh pelaksanaan program Biennale Jogja XVI sebenarnya bisa dilihat secara langsung melalui situs https://biennalejogja.org/2021/. Kami telah melaporkan kegiatan per kegiatan, hari per hari secepat mungkin, selengkap mungkin, baik laporan berupa foto, video, maupun narasi.
Selama 40 hari itu pula, tutur Gintani, Biennale Jogja XVI telah dinikmati oleh kurang lebih 1.5 juta orang melalui media sosial, 236.210 melalui website, dan 14.590 melalui kunjungan langsung di 4 lokasi, yang semestinya bisa lebih besar jumlahnya jika tidak dalam kondisi pandemi. Selain itu, kegiatan ini terpublikasi di 165 portal media daring, 25 media cetak, dan 15 media elektronik, baik lokal, nasional, maupun internasional.
“Dalam 40 hari itu, kami berupaya maksimal agar penyelenggaraan program dapat menjadi media untuk transfer pengetahuan dan gagasan, baik dari sisi kuratorial maupun dari seniman yang melakukan aktivasi karyanya,” ujarnya.
Lalu apa setelah Equator? Eko Prawoto, Dewan Pembina YBY, menyampaikan bahwa seri ekuator adalah alat analisis konteks global. Baginya, dunia perlu dilihat dengan cara yang “lain”. Timur-Barat, Utara-Selatan, ditolaknya. Bergerak menuju pandangan khatulistiwa.
Demikian pula yang disampaikan Nindityo Adipurnomo yang juga selaku Dewan Pembina YBY. Konsep ekuator jangan lantas dilihat sebagai perkubuan baru.
“Sebagai metode, ada usul bahwa pameran Ekuator patut dilanjutkan. Toh, masih banyak isu dan ruang yang belum dijamah dalam sepuluh tahun perjalanan Biennale Jogja Seri Ekuator,” jawabnya saat ditanya perihal keberlanjutan Seri Ekuator yang direncanakan usai di episode Oseania ini.
Nindit juga percaya bahwa nilai yang mesti terus dirawat oleh Biennale Jogja adalah inklusivitas. “Bukan hanya inklusi konsumsi, tapi juga keterbukaan pengelolaan,” tuturnya.
Memang, lanjutnya, banyak keluhan dari para seniman bahwa Biennale Jogja harusnya jadi forum mereka. “Tidak bisa. Yayasan adalah institusi publik. Maka, publik adalah nyawanya, bukan hanya seniman,” tegasnya.
Ke depannya, ada usul yang masuk ke Dewan bahwa Biennale Jogja perlu lebarkan sayap ke mimbar akademik. “Usul ini kami seriusi. Sebab, akademisi juga termasuk stakeholder Biennale Jogja,” ucap Nindit.
Dengan begitu, sambungnya, wacana kritis tidak hanya berkisar di dunia kesenian. Namun juga “dimakan” oleh komunitas akademik.
Di luar itu semua, Nindit beberapa kali ragu untuk menjawab. “Kadang, saya merasa sudah tidak berkapasitas. Yang muda lebih pantas untuk menjawab,” katanya dengan suara rendah.
Usai berbincang dengannya, kami berdua sama-sama bergerak ke panggung. Jeb,jeb,jeb… Bakurima sedang menghentak. Menyanyikan lirik “Bergerak, bergerak… “.Ternyata, bukan hanya Bakurima yang bergerak. Biennale Jogja juga mesti “bergerak” wacananya.