“Saya laki-laki yang tidak akan kalah dikeroyok di tengah padang yang luas,” pekik laki-laki bertelanjang dada dengan sarung merah bergaris hitam di panggung utama Jogja National Museum (JNM) dalam perhelatan Biennale Jogja XVI #6 Indonesia with Oceania.
Setelah dibuat gegap-gempita bersama musik hip-hop Itsmenach X Presiden Tidore, kini penonton tampak terpukau khusuk oleh pementasan Ikami Sulsel D.I.Y feat Kelompok 0 & 9.
Acara dimulai sejak pukul 14.00 WIB dengan menghadirkan enam kelompok performance, yakni Baswara, Bumi Risalah, IKMPHT Yogyakarta, IKAMI Sulsel feat 0&9, NTP, Milisi Yangere HIPMMU Bandung, dan Sanggar Lawamena IKMPMA D.I.Y.
Seusai tarian daerah Sulawesi Selatan yang dipersembahkan IKAMI Sulsel. Dua orang laki-laki mengenakan baju adat Makassar memperagakan adegan debus dengan menggoreskan mata badik ke bagian-bagian tubuhnya.
“… Demi rajaku yang kuhormati, demi penguasa tunggal tanah Bone. Maka semangatku telah menyeberang ke akhirat…” begitulah Ipang Sugali, salah satu penampil dari 0 & 9 membawakan janji Angngaru.
“Angngaru itu artinya sumpah prajurit kepada daerahnya, kepada rajanya,” ujar Ipang, salah satu panitia.
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa sumpah itu juga menunjukkan laki-laki Bugis-Makassar harus berpegang teguh pada kata-katanya.
Di bagian penghujung pementasan, performance ditutup dengan tarung sarung Bugis, Sitobo Lalang Lipa, atau Sigajang Lalang Lipa. Pertarungan itu dilakukan oleh dua orang yang saling menikam di dalam sarung, sampai salah seorang di antaranya menemui ajal.
“Sitobo Lalang Lipa itu cara untuk menyelesaikan masalah di antara dua pria yang sudah tidak bisa diselesaikan dengan musyawarah,” kata Ipang menjelaskan tarung sarung dari kacamata budaya daerahnya.
Selain seluruh penampil, kebanyakan penonton juga berasal dari ikatan mahasiswa atau masyarakat Timur yang berada di Yogyakarta. Bukan cuma pesta atau pertunjukan kebudayaan, pentas ini merupakan wujud solidaritas dan persaudaraan di panggung seni.